Tuesday, 14 July 2015

Ingatlah Hari Ini


Siang itu kita hanya berbekal kita bertiga. Langit sore runtuh begitu saja di atas masing-masing kepala. Tak ada rencana yang benar-benar harus digenapkan, kecuali kita bertemu karena janji spontan dan keinginan mendengar kabar. Lalu, salah seorang di antara kita menyela, “…apakah harus ada alasan bagi kita untuk bertemu? Jika memang diwajibkan iya, mungkin kita bisa menjawab dengan teramat sederhana; rindu”. Kita bertaruh tawa, menukar canda, dan berbagi bahagia – kali itu aku ingat, hanya dengan rangkaian acara berfoto ria bersama, membeli mie ayam, dan rujak yang katanya jadi rekomendasi paling enak satu kompleks perumahan. Ketika kita akan memutuskan untuk pulang dan saling berbagi sampai jumpa, kubisikkan satu tanda tanya; mungkinkah kita mengulang semuanya sama lagi?
"...kamu sangat berarti, istimewa di hati. Jika tua nanti dan kita telah hidup masing-masing, ingatlah hari ini." - Project Pop
Sore itu kita hanya berbekal kita bertiga. Langit malam jatuh begitu saja di atas masing-masing kepala. Kali ini setelah berpuluh-puluh pesan singkat untuk menyamakan jadwal dan kesibukkan-kesibukkan yang tak pernah menuai usai, kita bertemu. Tepatnya ketika memutuskan untuk mengambil jeda kerja, berusaha mempercepat waktu pulang, dan menyelesaikan urusan – kita pun bertatap muka, menukar lagi senyum yang sama. Ketika itu, kita bertiga ingat; ada segerombolan wanita dan pria paruh baya yang mengambil duduk tepat di sebelah bangku kita pada sebuah restoran. Nyatanya mereka tengah merayakan ulang tahun salah seorang temannya. Ada juga di antara mereka yang sudah membawa pasangan masing-masing, bahkan sedang mengandung. Ada persahabatan yang terderai di tengah tawa dan nyanyian mereka – yang mengental setelah sekian lama terjalin, terangkai, teruntai lalu menjadi kenang yang puncaknya adalah rindu dalam temu – begitu indah. Dengan haru yang menggantung di bilik hati, kubisikkan satu tanda tanya; akankah kita nantinya seperti itu, membawa kenangan agar terjadi hari ini dan utuh kembali?
Kita hanya punya kita bertiga – kita dijaga hanya oleh kenangan yang kapan-kapan saja bisa merapuh dan melapuk dengan mudahnya. Bahkan kita lebih banyak dibungkam oleh diam yang menjahit sepotong bibir yang bergetar oleh gigil ragu – kita sadar segalanya tak pernah pasti, kemungkinan berpaling atau menyelip lupa itu bisa terjadi dan kita tak ingin menyalahi untuk hal seperti itu yang bisa saja meniti. Akhirnya kita tetap berkumpul, namun ada yang berbeda kali ini. Kita saling menautkan jari jemari masing-masing sembari berbisik satu sama lain; “…tak peduli apa yang di depan menanti, yang penting adalah ingatlah kembali hari ini.”
Aku menangis. 

ini secara khusus kupersembahkan pada sahabat-sahabatku; Desy Herawaty Susanto dan Richky Deskiawan. percayalah, apapun yang terjadi, aku mencintai kalian.

Thursday, 9 July 2015

Museum Ingatan


Earl grey milikku mendingin; usai diraba oleh hujan semalam penuh. Aku menyentuh kuping cangkirnya – gigil itu terasa menyengat. Aku mencoba menebak-nebak apa saja yang dialami secangkir earl grey-ku malam tadi, saat kutinggal di bahu jendela; setelah diraba-raba hujan, mungkin juga disentuh berkas cahaya bulan yang berkunjung tiba-tiba, atau remang lampu kota yang menggoda kepul asapnya menari-nari pergi, dan tinggallah ia sendiri bersama dingin. Itu baru satu malam, dan sudah berhasil mengundang berbagai cerita. Bagaimana dengan secangkir kenangan, yang usianya bukan lagi senja – bisa saja malam – dan letaknya di pinggiran hati yang berusaha melupakan atau di sudut pikiran yang berupaya menghilangkan. Aku berhenti; berdiri diam di balik jendela kamarku yang buram karena kabut dari embun pagi yang memanggil. Dan sekali lagi, aku ditelusup kenang.
“…dan manusia tanpa kenangan dan ingatan ibaratnya hanyalah sebuah cangkang.” – Mitch Albom, The Time Keeper
Padahal itu malam pucat yang biasa. Menjadi berbeda ketika radio tua koleksi dari marhum kakekku, kunyalakan – dan berputarlah sebuah lagu tua, yang tak tahu berasal dari tahun berapa, menari-nari di gendang telinga, lalu dengan kurang ajarnya mengusik ingatan. Jari jemari berhenti di tombol ‘stop’ radio itu. Hatiku menjerit berhenti, seberapa sakitnya kamu menerima kilasan masa lalu atau kelebat waktu lampau, di kedalaman dirimu kamu akan menyadari jika kamu membutuhkannya. Aku dibawa sekali lagi di saat-saat aku jatuh ketika belajar menaiki sepeda, lari sembari menangis dan meloncati portal satpam saat dikejar anjing liar, lalu demam tinggi di pertengahan malam dengan Ibu yang menungguiku tanpa tidur. Bermacam-macam potongan peristiwa lalu yang sudah lewat tak henti-hentinya menghajarku, hanya lewat sepenggal lagu tua – kita memang tak pernah tahu bagaimana dan dengan apa kenangan menyerangmu. Kadang kala, sifatnya tanpa ampun.
Lagi-lagi, padahal itu hanya sebuah gudang pengap dengan setumpuk barang lama berbau apak. Harusnya tak ada yang istimewa. Tapi – mengapa kamus hidup ini menyimpan kata ‘tetapi’? – segalanya berubah saat aku tengah memberesi barang-barang dan menemukan sebuah buku tahunan yang tersembul di balik gunungan. Buku tahunan yang menjaring potret setiap anak yang lulus pada angkatan tertentu – begitu kenangan hingga mampu membuatmu lebam membiru karena debu tebalnya membuatmu batuk, tapi foto sepia itu lebih dari sekadar tua, ia menghidupkan apa yang sudah lama kamu kira mati dalam lupa. Selalu begitu, saat kamu membongkar sesuatu yang sudah lama teronggok – yang kamu kira hanya akan menyapa debu dan sarang laba-laba – tapi justru yang kamu temui adalah suatu hal yang membuatmu diam. Cukup lama. Tak bergerak sepersekian detik. Sama sekali. Hanya untuk meresap ulang apa yang mengetuk dan berusaha kamu anggit agar rapi kembali. Itu cara kerja kenangan. Dan sering kali, karakternya tiba-tiba.
Aku memutuskan untuk menarik diri. Kubersihkan embun pagi yang menempel di dinding jendela dengan siku tanganku. Membuatnya membekas bulatan besar di tengahnya. Tapi setidaknya sudah cukup jelas dibanding tadi – dan aku teringat pada satu pertanyaan. Ada alasan mengapa Tuhan membatasi waktu hidup kita, agar hari-hari kita berharga.  Mungkin itu juga guna kenangan – walau ia juga bisa menghajar – menjaga agar kita tidak lupa, betapa hari ini akan menjadi kenang, karenanya ingatlah hari ini, saat kita bersama berbungkus canda tawa maupun isak tangis, dan aku bilang, akan membalutmu dalam cinta.

This entry was posted in

Tuesday, 7 July 2015

Kamu yang Kupanggil Kamu (4)


Aku menyapamu sekali lagi, Kamu. Mungkin setelah ini akan ada banyak pertanyaan untukku, tentang siapa di balik Kamu. Aku rasa ada alasan mengapa Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama. Bukankah kerap kita mendengar lirik lagu, bacaan, atau tanda-tanda yang hanya mengarah pada seseorang tanpa benar-benar menyebutkan namanya, kecuali memanggil ‘kamu’? Karenanya, ini sesungguhnya sangat sederhana; teruntuk Kamu. 
Hola, Kamu. Sedang apa kamu sekarang? Biar kutebak, tengah perjalanan pulang, atau sedang sibuk memikirkan rencana yang harus kamu eksekusi dengan baik esok hari. Tapi ini malam sebentar lagi beranjak tua, aku berani bertaruh kamu pasti bersiap tidur dan menghitung domba – aku selalu berharap bisa duduk di tepi tempat tidur dan membuka salah satu buku dongeng koleksiku untuk kubacakan sebelum kamu lelap. Jika kamu masih cukup terjaga untuk tahu aku sedang apa, aku semenjana memutarkan musik dari salah seorang pianis yang pernah kamu hadiahkan lagunya padaku di sebuah malam. Rasanya sudah beratus-ratus malam lewat sejak segalanya baik-baik saja; tanpa aku yang harus bergantung pada berbotol obat, merutuki diri ketika berdiri lima belas menit di hadapan cermin, dan menangis diam-diam di pertengahan malam. Kebanyakan karena aku menemukan pertemuan kita hanya berupa tatap punggung yang saling menjauh, dan bisu yang mengisahkan akhir cerita kita.
Hola sekali lagi, Kamu. Boleh aku bercerita kembali padamu? Sebelumnya maaf karena kamu harus bertemu denganku – si perempuan yang menjajakan cerita-cerita untuk bertahan hidup. Tadi siang, aku bermimpi, itu mimpi yang muram sekaligus manis. Aku jadi seorang putri, ketika banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk melawan naga dan meminum ramuan sihir agar kebal dari serangan, hanya untuk memenangkan kontes dan bisa melamarku; tapi ketika salah seorang datang dan semuanya terasa akan berakhir bahagia, kubilang padanya: ‘aku akan mencintaimu, sebagai kakakku, sahabatku, temanku’. Aku menyimpan bentuk cinta yang lain, dan itu adalah untuk Kamu. Karena aku menunggu. Dan, kamu tak perlu takut – khawatir harus segera menjemputku, membalasku, menungguku balik, atau usik-usik lainya – kamu hanya butuh memastikan hari-harimu bahagia.
Hola terakhir kali, Kamu. Beberapa waktu lalu, aku pernah bertanya padamu apa yang menjadi ketakutan terbesarmu? Aku tak memintamu mengingat ulang apa jawabanmu kala itu, aku hanya ingin ikut menjawabnya lewat surat yang sebentar lagi usai ini. Ketakutanku sederhana, jika itu menyangkut Kamu, kira-kira seperti ini; aku tak menemukanmu duduk di ruang kerjamu pada temu singkat yang ada, aku bangun di pagi hari dengan senyum kecil dan tak pernah tahu apakah kamu juga tengah bahagia pagi itu, kamu tengah lelah dan aku tak pernah punya kesempatan untuk sekadar bilang rihat sejenak, tak tahu cara menerbitkan senyum kecil di sepotong bibirmu, dan mengetahui mungkin saja aku menjadi beban lain untukmu.
Kamu. Pernah kamu terpikir jika Fur Elise ditulis Beethoven untuk seorang kekasih yang menjelma menjadi nada-nada luka untuknya? Atau rapuhnya Moonlight Sonata mencerminkan bagaimana cinta dan luka berteman akrab hingga kata tak mampu melukisnya, lantas meminjam tangga-tangga nada? Atau kesedihan-kesedihan Chopin? Mengerikannya akhir dari kisah-kisah Shakespeare? Terkadang kita membaca luka dengan cara lain; mencintai. Selamat beristirahat, dan semoga hari-harimu berjalan dalam damai.
Dari seorang perempuan yang berupaya menghidupkan kenangan di tiap temu singkat kita.
This entry was posted in

Saturday, 4 July 2015

Dongeng yang Mengantarmu Tidur


“Ma, masih ingat buku dongeng pertamaku? Berkaver merah yang isinya cerita tentang beruang dan teman-temannya? Masih ada? Kalau iya, aku mau lihat,” rengekku malam itu. Mama tidak menjawab. Beliau menggeser sebuah kursi plastik, naik ke atasnya untuk menjangkau sesuatu dari atas lemari tempat debu menebal bersama sarang laba-laba. Dan, dari balik tumpukan dokumen-dokumen tua, ada sebuah buku berkaver merah yang ditarik keluar oleh Mama. Sisi-sisi buku itu sudah sedikit menguning, tapi tidak terlalu kusam. Walau ada beberapa tambalan dengan selotip di lembar-lembar halamannya, buku tersebut bisa dikategorikan cukup awet. Aku terkesiap, hampir memekik; itu buku dongeng pertamaku – yang Mama bacakan padaku sebelum tidur, ketika aku belum mengenal apa itu membaca. 
 “Kamu paling suka minta Mama bacain cerita, sampai-sampai tiap harinya Mama harus mengarang cerita baru dengan tokoh beruang yang sama dari buku dongeng itu. Ingat?” Aku mengangguk sembari membolak-balik halaman si buku dongeng – kamu seperti masuk ke masa lain. Membuka buku dongeng masa kanak-kanakmu seperti menaiki mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Tepat ke penggal masa saat malam sudah memasuki pukul delapan, dan kamu menganggap itu sudah terlalu larut, lalu kamu harus segera tidur. Ada banyak ritual kecil sebelum nina-bobo dinyanyikan; minum susu cokelat hangat atau dengan tambahan beberapa es batu, mencuci kaki sebelum naik kasur, memeluk boneka kesayangan dan mengucapkan selamat malam pada mereka, dan yang terakhir, meminta Ibu membacakan dongeng sampai kamu lelap, dan kecupan di dahimu sebagai penutupnya. Atau terkadang, kamu akan dipaksa menggosok gigi, dan jika tidak kamu lakukan – akan ada cerita-cerita tentang monster gigi, peri gigi dan keajaiban di bawah bantal, serta pasukan kuman yang membuat lubang di sana. Hal-hal tak masuk akal, tapi berhasil menyihir kamu untuk gosok gigi bersama Ayah dan menukar canda seperti orang paling pintar sedunia – walau akhirnya, kamu tetap saja bangun di pertengahan malam, tiba-tiba lapar dan mengendap-endap membuka pintu kulkas untuk memakan camilan yang saat ada Ibu, kamu tidak diizinkan melahapnya. Itu bagai misi rahasia yang seru; ketika ketahuan, kamu memakai jurus paling ampuh untuk menghindar; sembunyi di kolong meja. Aku tertawa, karena aku pernah melakukannya. Kamu juga iya, kita pernah melaluinya – masa kanak-kanak ketika kita berdua melihat hidup sebagai dongeng yang berakhir bahagia.  
“Dongeng beruang itu, kamu masih ingat? Tentang boneka beruang yang hidup saat nenek yang membuat mereka sedang lelah dan tertidur lelap. Si boneka beruang pun usil membuat gambar agar ia punya teman bermain,” ujar Mama tiba-tiba. Aku yang tiba-tiba mengusap sudut mata kananku, akhirnya menyadari ada kepingan yang kurindukan. Aku mengangguk; nyatanya ada satu hal yang masih kubawa dari masa keciku hingga sekarang; aku kerap percaya jika boneka bisa hidup dan bercakap-cakap saat pemiliknya tak ada. Kamu tahu mengapa? Ingin kuceritakan? Jadi seperti ini, pada suatu hari …
This entry was posted in

Kamu yang Kupanggil Kamu (3)


Lagi-lagi, ini untuk Kamu. Teruntuk Kamu. Kepada Kamu. Bagi Kamu. Ditujukan Kamu. Dialamatkan Kamu. Bermuara Kamu. Sekali lagi, biar aku menyapa Kamu. 
Halo, Kamu. Aku ingin memulainya dengan sepotong pertanyaan sederhana; apakah kamu sehat hari ini? Jika iya, dan ini Sabtu, banyak hal yang bisa kamu lakukan setelah seminggu yang kamu tingkahi dalam sibuk dan berakhir lega. Menemani Ibumu berbelanja, mengajak hewan peliharaanmu berkeliling di kompleks perumahan, bermain papan permainan bersama adikmu, atau menikmati instrumen musik favoritmu lewat kompilasi video yang kamu kumpulkan. Teruslah seperti itu, bekerja utnuk menyelesaikan satu persatu mimpimu. Aku ingin suatu waktu nanti – ketika aku tak lagi bangun di pertengahan malam hanya untuk memuntahkan darah, dan menangis sepanjang subuh memegang erat obat-obatan yang tak kamu tahu – bisa melihatmu berdiri di panggung yang sisi depannnya bertuliskan angka satu. Kamu menjadi juara dan bisa merihat sejenak menikmati permainan semesta yang selama ini meletihkan kepala dan jiwamu. Doa-doaku senantiasa mendaras dari sini, sebab Kamu, aku berusaha tidak mencintaimu dalam kenang, melainkan doa. Sebagaimana juga puncak tertinggi rindu singgah.
Halo sekali lagi, Kamu. Mungkinkah kamu ingat salah satu buku favoritku berjudul Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya? Itu buku yang berisi surat-surat dari seorang perempuan yang tak pernah sampai pada lelaki yang dicintainya sejak kecil. Akhir dari kisah itu mampu membuatmu diam sejenak – dan mengulang sekali lagi apakah ada seseorang yang menunggumu selama itu, lalu kamu mungkin lupa dengannya, tapi ia masih menunggu, tanpa kamu tahu ia tengah mati pelan-pelan. Menyembunyikanmu dalam ruang hatinya, dan diam-diam menghidupkanmu di antara cerita-ceritanya. Ada yang bilang, andai seorang penulis jatuh cinta padamu, kamu bisa hidup selamanya; tak akan mati. Karenanya, aku terus menulis perihalmu, aku ingin kamu hidup – karena kematian sesungguhnya adalah ihwal melupakan, dan aku pastikan itu tak terjadi padamu. Walau nantinya aku hanya berakhir sebagai seonggok nama setelah tiadanya aku, setidaknya ada surat-surat dan episode cerita yang mengisahkan bagaimana Kamu lebih hidup dari sekadar tokoh rekaan.
Halo terakhir kali, Kamu. Apa pernah sepintas berkelebat di benakmu jika aku mungkin tak bisa bangun lagi di suatu pagi untuk mengingatkanmu jangan lupa bahagia dan senyum hari ini? Mungkin tidak. Sejak dulu – waktu-waktu lampau yang membangunkan hantu mimpi burukku – aku selalu menjadi pilihan terakhir, ketika pilihan-pilihan lain yang terbaik dirasa sudah membosankan dan tak ada lagi yang bisa diraih, baru aku menjadi tempat berpulang. Awal, aku tahu tak pernah ditemukan di antara keramaian, dan terlihat di tengah kerumunan. Terlebih di dalamnya matamu – aku hanya singgah sesaat untuk menanti yang lebih baik, datang mengganti. Tak apa, Kamu. Aku mencintaimu dalam hening, dan pada sunyi, tak ada suara yang berbalas. Pada Kamu, selamat berakhir pekan dan semoga hari-harimu berbalut kebahagiaan.
Dari seorang perempuan yang baru menemukan ada yang sekarat dan berkarat dalam dirinya. 
*untuk pembaca setia blogku, aku rasa mereka tahu ‘Kamu’ sesungguhnya tentang siapa.
This entry was posted in