Friday 20 December 2013

Counting Stars

Aku mengacak-acak tas punggung berwarna ungu milikku. Mencari sebungkus tisu yang selalu kubawa, berusaha menyeka tetes peluh yang terus menetes di pelipis kepalaku. Siang yang terik itu, aku tengah terjebak di bawah panas matahari di antara kerumunan orang. Tiap detik berjalan, dan sesering itulah, aku terus menggerutu selama perjalanan pulang. Angkutan umum memberhentikanku di persimpangan jalan, aku harus turun dan menyeberang. Rasanya hampir mustahil bisa menyeberang dengan cepat, melihat jalan raya lancar dengan lalu lalang kendaraan berkecepatan tinggi. Aku melirik jam tanganku terus menerus, celetuk-celetuk kesal mulai menyesaki benakku. Sampai bintang keajaiban kecil itu terjadi.
Salah satu pengendara mobil berwarna silver tiba-tiba berhenti, dari gerak tangannya, ia mempersilahkanku untuk berjalan menyeberang jalan terlebih dulu. Bapak pengendara mobil itu melempar senyum padaku, aku membalasnya dengan senyum kecil dan membungkuk sedikit. Lalu menyeberang cepat.
Setelah itu, aku mulai mendumel lagi dalam hati, panas matahari terasa semakin menyengat. Mencekik kerongkonganku yang mulai meminta air. Aku menghentikan langkah di sebuah mini market, membli sebotol teh. Saat membayar di kasir, harga yang tertera adalah sekitar sepuluh ribu dua ratus. Aku harus bersusah payah mencari koin dua ratus perak di dompetku. Sampai bintang’keajaiban kecil itu terjadi.
Kakak kasir mengatakan jika ia menggenapi bayaranku hanya sepuluh ribu saja. Aku masih ingat; “Tidak usah, Dek. Sepuluh ribu saja,” ujarnya menampakkan senyum ramah. Aku diam dan menerima bungkus belanjaan. Melangkah pergi dari mini market, memutar botol teh dan meneguknya cepat.
Sebentar lagi aku akan sampai pada rumah. Hanya perlu melewati satu komplek perumahan lagi saja. Aku berjalan santai, berusaha memperbaiki mood-ku hari ini. Sampai bintang keajaiban kecil lainnya terjadi.
Tanpa kutahu bagaimana, tiba-tiba seorang anak kecil perempuan kira-kira dibawah umur enam tahun, berjalan dengan lucunya dan menabrakku. Seorang nenek memeganginya dan tersenyum padaku, memanggilku Kakak. Senyum nenek itu begitu hangat. Menyentuh langsung siapapun yang melihatnya. Membuatmu tak mempunyai pilihan lain kecuali satu; ikut tersenyum. Sesaat, aku tersenyum. Aku merasa begitu lega dan lepas. Langkahku begitu ringan sebelum akhirnya sampai rumah dengan selamat.
Aku baru menyadari, Tuhan tengah berusaha membuatku tersenyum hari itu. Karena sedari pagi, aku mengawali hari dengan buruk. Menggerutu, kesal, mendumel, dan banyak celetuk-celetuk menyebalkan lainnya. Tuhan sedang ‘menurunkan’ tangannya untuk membentuk selengkung senyum untukku. Lalu, mengapa aku menyebutnya bintang keajaiban? Karena aku tahu, keajaiban tidak selalu berarti sesuatu hal yang hebat dan kita kira mustahil, lalu terjadi. Aku belajar, jika keajaiban bukan seperti itu. Keajaiban adalah ketika kita menghargai hal-hal sederhana dan kecil di sekitar kita yang ternyata mampu membuat kita tersenyum dan bernafas hingga kini. Keajaiban layaknya bintang, ia ada banyak di kehidupan kita, hanya saja kita tidak tahu berapa dan dimana keajaiban itu tersebar.
Sesampaiku di rumah, aku merebahkan diri. Siap untuk terlelap sejenak sebelum akhirnya menemui bintang-bintang keajaiban Tuhan lainnya. Selamat Natal.
This entry was posted in

Thursday 5 December 2013

Find a way or Fadeaway

"Hey, just find a way or ... everything will fadeaway."
Senja sehabis hujan. Aku terbangun dari mimpi-mimpi, ketika hujan masih menyisakan beberapa gumpal awan yang menggelayut manja di cakrawala, dan senja tak mau kalah. Ada gores jingga yang tertinggal dan menggurat di langit. Aku tidak terlalu menyukai ini; langit yang menguning. Sebelum aku menutup gorden jendela, aku melempar pandang ke arah jalan berbatu keras nan dingin yang basah oleh hujan. Rasanya aku melihatnya – sebuah bayang yang nyata. Aku menemukannya meninggalkan tatap mata yang lebih dalam dibanding jarak yang ada. 
Aku memejamkan mata, menutup gorden dengan cepat. Menggeleng kepalaku dengan cepat; berusaha mengaburkan siluet-siluet yang mulai memenuhi ruang kalbu. Kuraih secangkir teh yang mendingin oleh atmosfer hujan, kuteguk perlahan. Sepertinya aku merasakannya – selukis senyum di bibirnya yang nyata. Aku mendapatkannya melempar lengkung senyum bisu yang lebih diam dibanding sunyi.  
Kuletakkan cangkir teh itu di tepi meja, membiarkannya teronggok diam dan meninggalkannya. Kubiarkan langkah membawaku ke ruang kamar, mengurung diri – berharap bisa memenjarakan ingatan dan kalbu dari jerat bayang silam. Lantunan lagu dari radio hitam tua favoritku masih menyala, melantunkan lagu-lagu lawas. Mengajak pikiran mengembara pada waktu-waktu lalu, menggelisahkan kenangan dan berkubang pada harapan-harapan. Rasanya dan sepertinya, aku mengingatnya – sesosoknya yang sempurna mengoyak dan mengacak ruang hati yang telah terluka. Aku menangkapnya berjalan, duduk, berbicara, berinteraksi, bercanda, belajar dengannya. Dengannya. Dengan dia. 
Aku mematikan radio. Menjatuhkan tubuh ke atas kasur, membenamkan wajah. Menahan diri agar tidak tenggelam terlalu jauh. Akhirnya, aku terlelap. Memimpikannya dalam sebuah mimpi sore sehabis hujan, bersama secangkir teh hangat yang belum dingin oleh hujan. Aku merindukan tatap mata teduhnya – yang kini terganti oleh tatap sedalam jarak yang mencipta jurang pisah. Aku merindukan senyum hangat dan ramahnya – yang kini terganti oleh senyum dingin. Aku merindukannya – yang kini terganti oleh dia yang menebas segala harap yang ada.  
Senja sehabis hujan. Aku terbangun dari mimpi-mimpi, ketika hujan sudah mereda. Senja juga telah mengalah. Membiarkan gelap menduduki singgasananya- langit malam. Hujan pun reda. Senja lenyap. Malam datang, mengakhiri segala awal. Seharusnya, aku pun mengucap selamat tinggal.  
"I choose fade away." 

Thursday 28 November 2013

I Called Her Claudie

Ini malam yang dingin ketika aku mengawalinya dengan membongkar onggokkan kenangan yang dimulai tiga tahun lalu…
Aku membaca sederetan nama yang tercantum dalam selembar kertas. Selembar kertas yang tertempel di tembok utama dinding sekolah, aku menemukan namaku masuk dalam sebuah kelas urutan acak B. Dengan langkah gontai yang malas, aku melangkah ke lantai tiga, tempat dimana kelas baru menungguku. Mengambil tempat duduk di tengah- seorang diri. Dari balik bangkuku, aku bisa melihatnya, duduk di sebelah kanan di depanku. Rambut hitam lurusnya di kuncir dua, aku tersenyum. Entah, saat itu, seolah ada yang berbisik padaku; suatu saat nanti aku akan merangkai jutaan kenangan dengannya. Keesokkan harinya, aku menyapanya, menjadikannya teman. Lusa harinya, aku tahu dia adalah sahabatku. Hingga detik ini, aku menyadari suatu hal yang lebih penting, dia adalah bagian dari keping kenanganku.
Duduk di sebelahnya membuatku tahu satu hal tentangnya; ia suka menggambar. Ia menggambar setiap harinya, kapanpun – ketika bel istirahat berbunyi, kamu akan menemukan papan tulis putih yang sudah bersih, akan kembali tercoret oleh gambar-gambarnya. Ia menggambar apa saja, sampai suatu waktu aku memberinya tulisan-tulisanku. Dan ia mulai membuat ilustrasi untuk tulisanku pertama kalinya; The Last Stumble. Namun, dua tahun berlalu, dan aku tak lagi menemukannya duduk di sampingku.
“Saat ada yang berkata padaku jika kita akan banyak kehilangan seseorang dalam hidup kita, karena ia pergi oleh waktu dan jarak. Aku selalu berkata tidak. Setiap hal berubah karena jarak dan waktu, tapi ia tidak hilang. Ia tidak pergi. Ia masih ada di sini, di ruang pikir, sudut ingatan dan tepian hati. Walau ia hanya sepenggal kenangan, terkecil sekalipun.”  - terkadang, saat aku menangis dan bergelut dengan sunyi yang menyiksa, aku mengingatnya. Aku selalu ingin memanggilnya, bercerita tentang banyak hal yang terjadi ketika ia tak lagi duduk di sebelahku. Banyak hal yang berganti, tapi aku selalu urung. Melihat tugas dan kesibukkan yang menenggelamkan waktunya, aku tak pernah ingin mengganggunya. Sampai siang itu datang.
Hanya pesan singkat, tiga kali. Aku memanggil nama depannya. Aku tak berharap ia harus datang ke kelasku. Tapi, ia datang. Mendapatiku kembali menangis seperti tiga tahun silam. Ia datang. Dan aku merasa ada yang salah, memanggilnya hanya untuk membebaninya dengan masalah-masalahku, mencarinya di saat aku tak tahu lagi kemana harus singgah.
“Setiap hal menjadi penting ketika kamu bereaksi terhadapnya. Kamu menangis, itu menjadi penting.”  - ini kalimat yang kuingat darinya, sebelum akhirnya ia memelukku sesekali di sela tangis dan ceritaku.
-      Bahkan sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana aku bisa melupakan ulang tahunnya 21 November lalu. Rasa bersalah itu masih menganga di benakku, maka, bersama tulisan ini, ada selip ucapan selamat ulang tahun untuknya, selain kata maaf. Tak ada air mata ketika aku menuliskan ini, karena aku ingat; “Kadonya gampang, Ver. Kamu berhenti nangis ya!” Dan aku sadar, saat itu – hingga kini, aku begitu merindukan lembar-lembar kertas yang berisi coretan gambarnya. 
     Setiap detik, aku hidup dan merasa hidup karena keping kenangan yang kupunya. Dan mengingat salah satu bagian kenangan tentangnya seperti mengembara pada saat-saat yang tak pernah kau bayangkan akan semanis mimpi-mimpimu. Dan seseorang itu, aku memanggilnya Claudie. I called her Claudie.
 "   "Claudie, we're just like a star. Maybe we separated by a distance, but we know, we always and still be there and have each other."

Saturday 16 November 2013

Why We Gotta Be So Mean?

Hari itu, cakrawala menggelap. Mendung menggelayuti langit. Menyelimuti Bumi dengan kelabu. Aku dengan salah seorang sahabatku tengah mengobrol dalam mobil. Obrolan panjang tentang seorang adik kelasku.
“Aku pernah melihatnya mengambil tempat di antara barisan teman-temannya saat doa pagi, tapi teman-temannya segera menyingkir dengan tatap jijik padanya. Ia terlihat tidak punya teman. Sekali ia berada pada satu tempat, semua menjauh. Aku tidak tahu dimana yang salah,” ujar sahabatku itu, nadanya merendah, ada selip prihatin di antaranya. Aku tahu siapa yang tengah sahabatku itu bicarakan. Ia adalah salah satu adik kelasku. Aku mengangguk. Aku pernah melihat kejadian yang sama, adik kelas itu melewati lorong kakak senior, seketika ia ditahan dan mulai ‘diganggu’. Aku juga pernah melihatnya duduk di angkot yang sama denganku, salah satu temannya segera menggeser duduknya sedikit dengan wajah ketus menjauhinya.
“Menurutku, dia orang yang baik, polos dan lugu. Ia bahkan pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal ia tak tahu kapan tanggal ultahku. Ia hanya melihat teman-temanku mengucapkan selamat padaku, ia pun mengikutinya,” timpal sahabatku itu lagi. Sahabatku tak tahu, jika saat ia mengatakan hal itu, hatiku mencelos.
Aku tahu, adik kelasku itu – seorang lelaki tinggi, gendung, bertubuh gempal, pernah tidak naik kelas dua tahun, berkaca-mata kuno dengan wajah yang jika dibandingkan lelaki-lelaki ramping bermotor ninja di sekolahku, tak akan ada apa-apanya. Tapi sesungguhnya, di balik semua kekurangan yang ia punya, aku yakin dan begitu percaya, ia punya hati yang baik. Tatap matanya yang tidak terlalu fokus, tapi mengadung kepolosan yang tidak macam-macam. Wajahnya tidak tampan, tapi ia punya ketampanan hati. Otaknya tidak cemerlang, tapi ia punya hati yang kemilau. Tak banyak hal yang kutahu tentang dia, kecuali kekurangan dan keburukan fisik yang terus beredar se-antero sekolah, tapi di sudut tersembunyi dari itu semua, ada yang menarik darinya.
“Cici, makasih ya waktu itu,” ujar adik kelasku itu suatu hari padaku, sehabis aku menariknya dari gerombolan  kakak kelas lelaki yang memiliki keisengan untuk ‘mengerjai’-nya.
Pikiranku pun terlempar pada sosok adik kelasku yang lain, seorang perempuan berambut pendek, tubuhnya yang cukup gemuk dan tinggi untuk ukuran kelas 1 SMA (bahkan lebih tinggi dan besar daripadaku), warna kulitnya gelap, wajahnya tidak secantik teman-teman perempuanku yang bertubuh montok-putih mulus dan lainnya. Adik kelas perempuanku itu punya cerita lain. Ia dijauhi, di-bully oleh teman sekelasnya, mendesaknya untuk melangkah ke tiap sudut sekolah sendirian. Pernah suatu waktu aku mendekatinya. Saat itulah, aku melihat secercah senyum mengembang di bibirnya yang sedikit merah ranum kehitaman, ia terus bercurhat tentang seseorang yang ia cintai, ia tertawa kecil – tersenyum lebar. Dengan polos, ia terus bercerita, cerita-cerita seperti mimpi untuk menjadi Cinderella. Diam-diam, aku merasa teriris, mereka – kedua adik kelasku itu, butuh seorang teman.
Terlepas dari itu, tak banyak yang memperhatikan bagaimana adik kelasku itu sering kali berjalan sendiri, jajan ke kantin sendiri, ia ‘berteman’ dengan kesendirian. Dan, itu begitu menusuk. Sebab, tak banyak juga yang tahu, bagaimana setiap pagi aku bangun dan menyetel lagu-lagu anti-bullying dari playlist ponselku untuk menghentikan tiap air mataku yang jatuh - tiap kali mengingat beberapa tahun silam ketika bullying itu sendiri terjadi padaku, tepatnya ketika SD. Rasanya begitu menyiksa, ia menjerat hatiku perlahan, mengoyaknya dengan kata-kata tajam menusuk dan menghantamnya keras dengan bayang-bayang kesendirian.
Terkadang, kita terlalu banyak mengomentari orang lain hingga lupa ‘mengomentari’ diri sendiri yang terus berkomentar. Kita terlalu sibuk fokus pada kekurangan orang lain, hingga tidak menyadari kekurangan kita sendiri yang terus melihat kekurangan orang. Why we gotta be so mean? 
"Aku gak pernah bisa bayangin dan gak tega buat ngelihat seseorang bisa dijauhkan oleh teman-temannya seperti itu. Pasti begitu menyakitkan dan orang-orang yang menjauhinya itu, takkan pernah tahu. We will never know, including what will be happen in the future,” ujar sahabatku dengan meninggalkan senyum penuh arti. Aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan sahabatku itu untuk mengakhiri obrolan sore yang mendung. Yes, we’ll never know.

This entry was posted in

Coincidence

Aku menghampiri seorang temanku di sebuah siang terik yang membosankan, kukatakan padanya, siang yang bosan itu seketika berubah ketika aku bertemu seseorang. Ia tak sengaja berpapasan denganku ketika kami secara ‘kebetulan’ membuka pintu kelas masing-masing secara bersamaan. Temanku itu mengernyit, lalu bertanya padaku, apakah aku percaya ‘kebetulan’?
Kata banyak orang – dan, aku menyetujuinya, jika setiap pertemuan, baik itu sekecil apapun, sudah ada skenario yang mengaturnya. Telah ada gores tulisannya; dimana penulisnya adalah Tuhan. Walau pertemuan sederhana dan singkat yang mungkin kita lupakan, seperti bertanya alamat pada orang di tepi jalan, menaiki salah satu taksi/ angkutan umum, memberi sedekah bagi pengemis di trotoar, bertemu pengamen jalanan, membantu kakek/nenek yang tidak kita kenal untuk menyeberang jalan dan lainnya. Masihkah kita ingat bagaimana wajah seseorang yang membantu kita menunjukkan arah jalan untuk alamat yang kita bingung? Masihkah kita terbayang wajah supir, pengemis, anak jalanan atau siapapun orang asing yang kita temui di jalan dan hanya singgah sesaat dari banyak detik hidup kita? Semua itu ada campur tangan dan sentuhan Tuhan di dalamnya. Justru, dari detail-detail sangat kecil nan simpel yang terlupakan dari ruang pikir kita itulah, Tuhan menyelipkan kejutan-kejutan.
Aku kembali pada kesadaranku, aku menggelengkan kepala menjawab tanya temanku itu.
“Karena, bukankah sebuah hubungan yang begitu akrab, kental dan hangat dimulai dari sesuatu yang sering kita sebut kebetulan? Namun, sesungguhnya bukan,” kataku kala itu.
Kita sering bilang, kebetulan aku naik angkot itu dan akhirnya bertemu si dia. Tanpa kita sadari, sesungguhnya tak ada kebetulan ketika kita menaiki angkot itu, kita memang dan sudah ada skenario agar kita menaiki angkot itu dan memulai pertemuan dengan siapapun di sana, yang nantinya menjadi bagian besar dari hidup kita. We called it God Scenario’s.
Temanku itu mengerling padaku sambil berjalan menlusuri lorong kelas, “Jadi, baiknya kamu berharap dia tak menganggap sapaan tadi hanya kebetulan belaka. Semoga saja dia menyadari jika itu sudah skenario Tuhan untuk mempertemukanmu dan dia. Entah untuk menjadi teman, sahabat atau…” Ucapan temanku menggantung di udara. Temanku hanya tertawa dan berlari pergi. Aku diam, menatapnya dari jauh, memilikinya menjadi temanku; itu juga bukan kebetulan. Lalu, bagaimana dengan mencintai seseorang itu? Ah, aku harap itu sebuah kebetulan.
This entry was posted in

Thursday 31 October 2013

Surrendered

(1)
“Terkadang, hal paling menyakitkan bukan ketika rasa itu tertolak, tapi saat rasa itu teronggok diam, terperangkap ruang bisu; tak terkata.”
Pendam itu pelan-pelan menyeretku siang ini. Memintaku bercermin pada kubang luka berdarah yang menganga dan menggenang di tepian hati. Sedang rindu, bermukim di antaranya, menunggu hingga ada rasa yang bertemu. Aku lelah, terjebak pada bayang lalu dan menawarkan bungkus silam bernama kenangan. Kapan rasa itu akan menepi?
(2)
“Pergi kemanakah kata ketika ia tak terucapkan?”
Aku selalu takut ketika waktu menulis skenario yang membuatku sekedar berpapasan denganmu. Karena aku tahu, akan ada rindu yang tertinggal setelahnya; menghabisiku perlahan. Bermuara pada sakit yang menyesakkan dada. Mungkin akan berakhir, berujung, habis. Tapi, luka telah meninggalkan jejak; yang tak akan beranjak. Jauh kemudian, aku terus belajar mencintai luka itu.
(3)
“Ketika kutitipkan rasa pada tirai hujan, aku bisa memelukmu. Tanpa kamu harus tahu itu aku.”
Tepat di seberang kompleks, aku melihat sepasang kekasih bertukar canda dan menderai tawa dalam bingkai rasa. Waktu terasa berhenti, aku teringat ketika sahabatku merekam siluet bayangmu. Siluetmu yang tengah duduk di sebuah kedai teh, dengan dua gelas teh. Satu untukmu, satu untuknya. Rekaman yang terus berputar dan berulang di benakku. Ada tangis yang pecah, aku tak tahu mengapa. Sesaat, aku hanya ingin menjelma hujan. Hadir di selipan sudut hatimu tanpa kamu tahu itu adalah aku. Memelukmu tanpa menjelaskan banyak hal.
(end)
Apakah tiap untai rasa bisa kukemas dalam wujud ilusi? Biar ia hanya tertinggal sebagai mimpi, yang ketika aku terbangun, semuanya lesap; mati. 

Aku tidak lelah, hanya saja aku memilih untuk menyerah. I surrendered.

Saturday 26 October 2013

I Almost Do

"I bet you’re sitting in your chair by the window, looking out at the city and sometimes you wonder about me…"

Aku membayangkan di suatu siang saat kita sudah menggenapi kata pisah, kamu menarik bangku mendekati sebuah jendela apartemen yang besar. Jendela kaca dengan setengah gorden putih vanilla yang menutupinya. Di balik jendela yang membingkai lalu lalang kesibukkan perkotaan dan merekam keremangan lampu kota. Lalu, kamu melempar arah pandangmu ke luar jendela, manik mata hitammu menyapu teduh, membuka banyak kisah akan bayang silam. Aku pun kembali pada kesadaranku, bertanya; apakah ada siluet bayangku ketika bayang silam itu menghinggapi ruang pikirmu? Aku memejamkan mata, banyak hal yang kusesali pada akhirnya. Bukan sesal karena aku tak pernah mampu membuatmu tetap tinggal, tapi karena banyak hal yang tak kulakukan, hanya diam di ruang benak sebagai keping kenangan yang menggores luka.  
And the ‘almost do’ memories…
Kamu tak pernah tahu, jika aku pernah hampir menuliskan sebuah puisi dan menyelipkannya dalam amplop tertutup dengan dua kantung teh, sebagai ajakan kencan teh di hari senja.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir berkata jika puisi yang pernah termuat di salah satu majalah, yang mengisahkan tentang selipan rasa tak terucap di antara hujan, itu adalah untukmu.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir ingin menyerahkan novel pertamaku di sebuah pesta perpisahan sekolah kita nantinya dan mengatakan tiga kata sederhana yang membunuhku selama 2 tahun ini; aku mencintaimu.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir berkata iya untuk menemanimu pergi pada suatu kegiatan yang tak ingin kuhadiri.
Kamu tak pernah tahu, jika aku hampir ingin mengajakmu bermain hujan dan bercakap bersama teh hangat di saat hujan merintik di hadapan lorong sekolah kita.
Apa kamu mengetahuinya?
And the ‘remember when’ moment…
Aku ingat saat aku berjalan di lorong kelas dengan kepala menunduk, kamu juga tengah melangkah di depanku, lalu kita menabrak di satu titik. Aku mendongak, menemukan matamu; kamu berhasil membunuh semua ragu yang pernah singgah di benakku.
Aku ingat saat aku membuka pintu kelas, di saat bersamaan, kamu di kelas berbeda juga tengah membuka pintu kelas. Kita bersamaan ke luar dari kelas tanpa janji, saling menatap, apa sebuah kebetulan? Aku hanya tahu rasa itu seketika membuncah dan terasa nyata.
Aku ingat saat kamu berdiri dibalik belakang pintu dan aku didepan pintu, kita membuka pintu itu bersamaan. Sekali lagi, aku menabrakmu, dan matamu menghentikan tiap detik waktu yang tengah berjalan, membuat nafasku sesak.
Apa kamu mengingatnya?
Saat sahabatku bertanya mengapa aku menyukaimu dan berujung mencintaimu dalam pendam rasa yang membuat hati lebam, aku hanya menjawab sederhana. Aku hanya jatuh dan tenggelam pada tatap dalam matamu. Matamu menjerat sejuta kenangan dan membuka banyak kisah. Sesederhana itu.
“I bet you’re sitting in your chair by the window looking out at the city, and I hope sometimes you wonder about me…”
On playing Taylor Swift - I Almost Do.