Friday 31 January 2014

Kita Yang Dulu


Hey, aku masih sama seperti yang dulu.
Aku yang kau kenal bertahun-tahun silam. Dengan sepeda merah butut berkarat, bersepeda di langit senja yang bergerak menyapa rembulan. Yang biasa kau ajak membeli gorengan di pinggir jalan dengan sekantung es kelapa. Berkeliling komplek perumahan dalam dan mengoleksi stiker-stiker tokoh kartun. Bermain masak-masakkan dengan dedaunan kering. Membangun istana boneka di teras rumah.
Aku; masih aku yang dulu. Yang bisa kau ajak bermain benteng-bentengan, lompat tali karet, tapak gunung, batu tujuh dan semua permainan tradisional lainnya. Yang sering menemanimu pergi ke warnet dan browsing tentang lagu-lagu Michael Jackson. Atau, yang selalu membeli komik-komik Paman Gober, lalu kita saling bertukar komiknya bersama.
Aku, tetap yang dulu. Orang yang kau kenal dengan sejuta ketakutan akan ketinggian. Atau mungkin, salah satu yang masih kau ingat, aku adalah aku yang sama, yang bertukar diari harian denganmu. Mewarnai lembar diari masing-masing dengan warna kesukaan kita, ungu. Kita suka sekali menyebut diri kita dengan kompak; Gadis Ungu.
Aku; masih dan akan selalu menjadi yang dulu. Yang menangis bersamamu. Yang saling berjanji untuk menjadi cinderella. Yang bermain voli di kala sore pada lapangan sekolah yang sudah mulai sepi.
Jika sekali saja, bisa kuputar waktu, sebelum kau berbalik dan berjalan di belakangku tanpa menengok lagi, ingin kuteriakkan padamu; aku tetap di sini. Tidak menjadi orang lain, selain jadi aku yang dulu.
Hanya saja, sekarang di sini, aku berkubang pada kenangan kita yang lalu. Lantas bertanya, apakah kamu tetap menjadi sama, seperti kamu yang dulu? Atau aku yang begitu dungu, masih bertanya tentang kita yang dulu. Sedangkan semuanya telah jadi yang baru.

In Love With Best Friend

Justru harusnya, ada ‘cinta’ dalam persahabatan. Dan, ada ‘persahabatan’ dalam cinta.


Ruang kelasku sibuk. Dua hari menjelang perayaan imlek sekolah. Kawanku sibuk mendekorasi kelas dengan lampion buatan tangan, membersihkan kelas, dan tentu saja – menyulap kelas berukuran cukup luas itu dengan semangat warna merah khas imlek. Aku memilih duduk sejenak, menikmati kesibukkan sekitar, bersama salah seorang sahabatku yang tengah mengetik sesuatu di laptop 21 inci-nya.  Lalu, obrolan kecil itu dimulai. Awalnya hanya pertanyaan kecil untuk menganggunya, tapi, aku menemukan sesuatu yang penting setelahnya.
“Kau menganggap kita berlima sahabatmu?” Ia mengangguk kecil, melirikku sejenak dengan tatapan konyol. Aku bertanya padanya, apa arti sahabat menurutnya. Tanpa berpikir panjang, ia menuks cepat, mengatakan sahabat berarti teman dekat. Aku diam, menggeleng keras.
“Kau tahu? Sahabat itu, adalah seseorang yang mampu membuatmu menjadi diri sendiri ketika kamu berada di sampingnya.”
Ia mulai tertarik. Aku pun melanjutkan, “Sahabat itu, adalah orang yang mampu mendengarmu ketika kamu tak berbicara. Ia yang mampu melihat air matamu ketika kamu diam. Ia yang mampu memberi pelukan paling erat ketika kau bersuka. Rasanya definisi sahabat begitu sempurna dan mustahil, padahal sesungguhnya sederhana. Karena ia mengenalmu, semuanya terasa mungkin. Bagaimana?”
“Bukankah itu hampir sama dengan definisi ‘seseorang’ dalam cinta?”
Setelahnya, ia kembali dengan ketikkan di laptopnya. Tanpa mempedulikanku yang mematung di sampingnya. Ia benar. Tanpa kusadari, aku menemukan sesuatu dari celetukkannya. Tak ada yang berbeda ketika kamu bersahabat atau merangkai rasa berlabel cinta. Sebab, seharusnya ada cinta dalam persahabatan, dan ada persahabatan dalam cinta. Cinta ‘bersahabat’ dengan persahabatan. Persahabatan ‘bercinta’ dengan cinta. Tak ada yang perlu ditakutkan. Aku mengulum senyum penuh arti.
Lucky, i’m in love with my best friend. They don’t know how long it takes, waiting for a love like this. – Jason Mraz ft. Colbie Cailat, Lucky

Yang Tak Luput Dari Rindu



Mari kita mengira-ngira. Sekitar setahun silam, kembali pada Maret tahun lalu. Detik-detik ketika aku harus berteman dengan selang infus dan obat-obatan. Terbaring di rumah sakit selama seminggu penuh, mendapati pola makan yang lebih teratur dengan menu yang mengerikan – muntah berkali-kali karena rasanya tubuh ini lebih banyak dicekoki obat dibanding makanan. Semuanya terasa sedikit membaik ketika dokter mengatakan aku bisa pulang. Malam itu, di balik jendela kaca mobil, aku menatap lampu-lampu kota, aku merasa hidup. Masuk ke sekolah, menyapa teman, mengejar ketertinggalan pelajaran dan menikmati makanan kantin seperti biasa. Tapi, tentu saja, selalu ada perlakuan yang berbeda ketika kamu baru saja pulang dari rumah sakit. Kamu akan terasa dimanjakan seminggu awal. Diminta tidak berpikir terlalu keras, toleransi pada jam olahraga, tidak mengikuti ekskul sehabis pulang sekolah dan lainnya. Hampir semua orang menceramahiku mengenai satu kata ‘istirahat’. 
Mari kita menebak-nebak. Lalu, tebakan itu benar. Itu berarti, tak ada lagi duduk berjam-jam di depan komputer. Menghitung tanggal di kalender sebelum deadline. Menyeduh secangkir teh vanilla hangat di kala tengah malam. Menyeleksi naskah kiriman yang masuk di meja redaksi sekolah. Membidik lomba-lomba kepenulisan. Melanjutkan proyek menulis baru. Dan lainnya. Lainnya. Semuanya seolah lenyap. Lesap. Terkemas dalam satu kata ‘istirahat’. Hampir semua orang menyerukan hal itu. Hampir. Karena ada seseorang yang tidak.
Setiap orang akan menjadi sejarah bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. Orang lain, siapapun itu, akan menempati –setidaknya, satu bab dalam sejarah hidupmu atau orang lainnya.
Mungkin beliau tidak akan pernah membaca tulisan singkat ini - yang tanpa ia sadar atau tidak, aku tengah mengisahkannya. Ia membiarkan aku menerima tugas-tugas kepengurusan majalah sekolah. Memimpin rapat. Menggali ide-ide baru untuk edisi selanjutnya. Di tengah cibiran orang-orang di sekitarnya yang mengizinkan aku tenggelam dalam kesibukkan setelah sakit keras. Aku tersenyum. Di koridor sekolah yang  gelap oleh pantulan bayangan itu, beliau hanya diam. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. Wajahnya yang ramah dengan jilbab kelabu yang membingkai kepalanya, terasa begitu teduh di manik mataku. Kami saling bertatapan. Ia tahu, aku akan lebih sakit ketika tidak menulis. Aku tidak benar-benar sembuh jika tidak menulis. Maka, lewat tulisan ini, ada selip terima kasih dan sebuncah rasa rindu yang sangat untuknya.
Guruku, apa kabarmu? Aku di sini, bergelung dengan rasa rindu yang terus memutar kisah silam kita. Bagaimana membuat kenangan luput dari perasaan sebongkah hati? Mari melipat jarak, memulai rapat rutin kita, lagi.
This entry was posted in

Sunday 19 January 2014

Moved On


 “You’re like the person i read the saddest book with.” – Seo Mi Do, When A Man Falls In Love
Ini rekor – jika bisa kusebut rekor. Aku tidak sekalipun lagi menulis bagaimana indahnya siluet bayangmu memantul di dinding bangunan kota karena berkas cahaya purnama. Lalu, tentang hangatnya kenangan tentangmu di dinginnya malam natal. Atau mengenai namamu yang berulang menggema di ruang kalbu. Namun, semua itu tak lagi membuat segalanya bergetar seperti dulu. Seperti dulu ketika aku mendapati teduh manik matamu pertama kalinya.

Ini rekor – jika dapat kukatakan rekor. Semuanya berawal di sebuah parade tahunan, pesta kembang api sederhana dikelilingi asap daging panggang. Kamu ikut didalamnya, hanya sebuah pesta kecil kurang dari belasan orang. Dalam sebuah kamar minimalis, tanpa kamu harus menjelaskan. Aku tahu, kamu memimpikan sosoknya. Atau tepatnya, kalian saling bermimpi satu sama lain. Kemudian, foto bersama untuk sebuah kenangan abadi sepanjang tahun baru. Memulai permainan arsitektur milik anak kecil, yang kamu – dan dia, jadikan simbolis daun hati kalian berdua.
Ini rekor – jika mampu kubilang rekor. Dan, kamu tidak mengatakan satu komentar apapun. Kamu memilih diam dan menganggap semuanya aneh, yang berarti keren. Sedang aku di sini, mati perlahan. Menyaksikan bagaimana kamu dengannya menyatukan bayangan yang bisa kulihat jelas di potret lensa kamera. Terlebih, saat sahabatku mulai mengatakan kamu mencapai puncak prestasimu. Yeah, well. Secara akademik dan kisah kasihmu, kamu berhasil. Tapi, satu yang tidak. Ketika kamu mengira, aku sama dengan deretan gadis yang mengantri untuk menumpukkan surat cintanya di kolong meja belajarmu. Aku terkesan marah, tapi, aku hanya tak ingin berakhir sebagai secarik kertas cinta tak terbaca. Menyedihkan. Teronggok bisu, menunggu hujan paling dingin menyeretnya pergi. Begitu saja.
Ini rekor – ya, aku mengatakannya demikian. Ini Januari berhujan. Januari yang basah. Tidak ada yang salah. Tidak ada juga yang menang atau kalah. Aku hanya tak lagi bisa berkilah, jika ini semua usai sudah. Aku menyerah. Lelah harus terus terjerat pada hati yang gelisah. Dan terjebak akan rindu yang resah. Lagipula, tak ada ritual tangis menangis yang megah, hingga aku harus meminjam pundak sahabatku demi melempar keluh kesah. Aku hanya menyadari satu hal, mengapa tidak sejak awal kuakhiri kisah. Tepat saat kamu mengikrarkan janji yang sesungguhnya, menyiratkan pisah.
Sekali lagi, harus kukatakan ini. Kamu seperti orang yang ada dalam buku sedih yang telah kubaca.
“It must be time to move on now, without the fear how it might end.”Lady Antebellum, Ready To Love Again

Monday 13 January 2014

Fear


“Hidup; seperti turun pada stasiun persinggahan yang besar, menunggu masinis maut menjemput kita dengan kereta. Lalu, melakukan perjalanan panjang yang sebenarnya. Maka itu, pastikan jangan tersesat dan membawa perbekalan yang cukup.” – di kala aku yang tengah meributkan perubahan. Bagaimanapun, hidup ini akan mengubahmu, walau kamu tak ingin berubah.
Kau tahu. Tidak mudah untuk sekedar mengucapkan hello 2014, thanks 2013.  Setidaknya, untukku. Malam tahun baru, aku menghabiskannya dengan menginap di rumah sahabatku. Memanggang roti, sosis, ayam, jagung dan lainnya. Duduk di halaman rumah sambil mendengar petikan gitar yang dimainkan sekelompok teman laki-laki. Memandangi malam berbintang. Dengan latar suara tawa, cekikikan geli, lemparan canda dan berisiknya obrolan. Sebuah malam yang gemerlap dengan bungkusan kebersamaan terindah bernama persahabatan. Selalu ada yang spesial. Menunggu pukul dua belas tengah malam, ikut dalam pesta kembang api sedunia. Bermain dan berlaku selayaknya anak kecil yang berhasil begadang semalam suntuk untuk pertama kalinya. Ini malam tahun baru, bukannya selalu begitu?
Tapi, sekali lagi, kau tahu. Tidak gampang untuk sekedar mengucap come here 2014, good bye 2013. Setidaknya, untukku. Ketika teman-teman lelaki tengah merebahkan dirinya di halaman rumah, memutar lagu sendu dan muali memetikkan gitar. Aku diam, memaku pandangan pada langit yang tengah menyiapkan diri untuk sebuah parade tahunan. Lalu, aku ingat. Begitu jelas. I remember it, all too well. Sebersit tanya menggores di cakrawala hitam malam itu, juga dihembuskan desir angin, membisik padaku pelan; akankah aku kehilangan ini semua? Bercengkereama dan bercanda tawa tanpa ingin tahu apa yang disiapkan masa depan. Tanpa peduli bagaimana masa lalu menghantui. Tanpa menggelisahkan masa kini.
Namun, sudah kukatakan sebelumnya. Tidak mudah untuk sekedar untuk mengucap hi 2014, see you 2013. Setidaknya, untukku. Aku menemukan banyak hal di persimpangan akhir tahun. Tentang banyak hal yang tidak seperti yang kupikirkan. Tentang kebutuhan untuk selalu diingat.
“Kamu mungkin tidak akan mengingat kita lagi nantinya. Awalnya, hanya berkas-berkas silam. Lalu, lama-lama memudar. Hilang sama sekali,” celetuk salah satu temanku. Aku menggeleng, siap menyanggah.
“Tidak. Sebab, untai kenangan, inci kebahagiaan, rangkai canda tawa dan derai manis hidup, adalah tentang kalian semua. Karena, tak akan ada kisah tanpa adanya kalian.”
Lalu, kami tertawa bersama. Ini malam tahun baru. Kegelisahanku terjawab. Aku sadar pasti, ini semua akan berakhir. Cepat lambat. Aku akan kehilangan ini semua. Tepatnya, kehilangan momen itu. Waktu itu. Malam itu. Detik itu. Pertemuan itu. Tapi, aku tidak akan kehilangan kalian semua. Cinta itu tetap ada. Selamat tahun baru.
This entry was posted in