Friday 19 September 2014

Perempuan yang Disekap Rindu


“Hari ini aku melihatmu dibungkus jaket kelabu tebal. Mata diammu sekali lagi menyarangkan liarnya padaku; ingin kubawa pulang saja.”

Ada konspirasi mematikan yang terjadi di ruang kafe siang itu. Ketika selaksa rindu menimbuni aku yang duduk di sana, hingga jadi sesak satu persatu. Kehabisan napas, lantaran bilik hati sudah pengap oleh rindu yang tersengal. Letih kian merajuki rindu agar berhenti; tak ada gunanya terus mencintai dengan rindu yang sudah tertatih-tatih.
Tapi aku di dalam kafe – yang entah terjebak, atau sengaja membiarkan diriku sendiri ditelanjangi rindu – tetap duduk. Tak ada aku yang mau beranjak, walau rindu diam-diam sudah menjelma jadi sungkawa yang begitu maha. Imbasnya, aku dilumat habis rindu-rindu yang sudah nestapa. Aku perlahan tak bergerak; mungkin sudah mati di dalam, akibat dibunuh oleh rasa gelebah akan bayangmu yang sebatas angan penuh resah.
Serasa belum cukup, rindu sengaja mengajakmu bekerja sama lebih larut. Kamu memalingkan wajah bisumu sejenak setelah melempar kedua manik matamu padaku. Seakan bongkah rindu dalam secangkir kopi manis di kafe itu, menyulap jadi sewajan lara dan gulana jadi satu. Dan, itu begitu luka. Untai rindu yang tak pernah kau tahu, bukan hanya berhasil mencekikku, tapi juga membawaku mengembara pada rajutan harapanku yang sudah menelikung begitu jauh. Bahwa kamu memang tak tersentuh. Kamu yang utuh dengan segala diam dan bisumu. Seharusnya melangkah cepat menjauhi rindu-rindu yang berdarah dariku, di kafe siang itu. Kamu tak akan mau melihatku mati hanya karena tatap matamu berhasil menancap di hati yang merindu. Kamu tak akan mau memandangku mati hanya karena namamu berhasil memasungku di pertengahan malam penuh rindu.
Ini memang tentang rindu-rindu yang tak pernah mau menuai jemu; terlebih jika itu mengenai kamu.

*teruntuk seseorang dalam 'Lelaki yang Dikurung Bisu'

Thursday 18 September 2014

The Wings


"Jauh sekali. Kenapa tidak coba menyewa kost saja di sini? Jarak dan waktu tempuhmu tidak dekat loh,” ujar seorang kawan yang ditemuinya di ambang pintu bilik toilet. Ia menjawabnya dengan gelengan pelan, lantas tersenyum.
“Hanya tiga kali seminggu, selagi masih bisa pulang ke rumah, aku lebih memilih pulang,” jawabnya santai. Teringat olehnya kedua orang tuanya yang sudah renta, tapi masih membanting tulang dan memeras tenaga untuknya berkuliah.
“Kalau aku jadi kamu, aku sudah pilih housing di sini saja deh. Ambil jarak dengan orang tua.” Kawannya, seorang perempuan berambut panjang itu mengibaskan rambutnya, mencoba merapikan anak-anak rambutnya yang dimainkan angin. Ia masih mempertahankan senyumnya, tak tahu harus menjawab apa. Karena yang ada di benaknya kini adalah sepasang mata sayu kedua orang tuanya yang masih berbinar walau dirundung letih dan lelah tak berkesudahan, seluruhnya untuk pemenuhan hari-hari kuliahnya.
“Aku tidak pernah memilih untuk kuliah. Tapi tetap dipaksa. Kalau bisa berontak, aku mau bikin ulah saja. Siapa suruh orang tua nyuruh-nyuruh aku kuliah,” timpal kawannya sembari menghentakkan kaki dan melangkah pergi meninggalkannya. Ia diam, dipandanginya pantulan wajahnya di permukaan kaca cermin toilet. Pikirannya mengajaknya menerawang pada waktu-waktu dulu, dan mengembara pada tebak-tebakkan waktu-waktu esok.
Ini cerita tentangnya. Tentang seorang perempuan yang lahir di sebuah kota kecil, yang hidup sederhana – dengan ritme hidup yang lebih banyak jatuh dibandingkan menanjak. Tapi ia percaya satu hal; jatuh berkali-kali tak apa, asalkan ia mampu bangkit. Dibanding ia harus terus menanjak dan tergelincir.
Ia hidup dengan sebuah tas punggung kelabu yang gembel. Berjalan sedikit membungkuk, kepala tertunduk dan langkah yang terseok-seok. Ia pikir, ia malu dengan dirinya sendiri; ia tak terlalu menarik untuk diperhatikan lawan jenis, ia juga tak begitu keren karena tidak mengendarai mobil (ia menaiki kereta dan sesekali motor usang), ia kerap kali kesulitan mengikuti kelas-kelas yang mengharuskannya membeli barang-barang ‘wah’, dan ia dipastikan selalu terlambat dalam pelunasan administrasi. Tapi, ada jua banyak hal yang tak ia pikir. Jika ia punya bongkah impian, sekepal mimpi dan segenggam harapan. Hal-hal yang tak dijual di toko dan dibeli uang. Ia punya ketiganya di pundak kanannya, dan di pundak kirinya, ada semangkuk air mata dan sesendok cinta yang selalu ia bawa kemana-mana. Itu adalah titipan kasih dan doa dari kedua orang tuanya; untuknya.
“Aku melangkah dengan tiap bait doa orang tuaku, menapaki tebing-tebing terjal untuk menyentuh awan-awan mimpiku, dan menjadi diriku sendiri. Karenanya, aku percaya. Aku bisa terbang, dan Tuhan tengah memeluk mimpi-mimpiku dalam tiap harapan yang kubisikkan di tepi malam tiap harinya.”
Lalu, terdengar isak kecil setelahnya. Tak ada yang tahu, bahkan ia sendiri pun, jikalau ia kini telah bersayap. Suatu hari, kamu akan melihatnya terbang.
This entry was posted in

Saturday 13 September 2014

Lelaki yang Dikurung Bisu (3)


Perempuan itu berdiri di depan cermin yang memantulkan kelebat bayangnya yang berputar-putar. Wajahnya putih polos, mendekati pucat. Ia tersenyum, rasanya seperti dulu ketika ia mencintai seseorang dan semuanya tetap sama; tak bergerak.
Langkah-langkah kecil sembari menyusuri permukaan lantai vanilla, ia menapaki tangga-tangga. Menghadapi degup-degup kecil, sesak di dada dan lirikkan malu pada seseorang; terus seperti itu sampai ia tahu jika harapan memang tidak pernah menepi.

“Aku sudah bilang, aku punya cara yang berbeda. Akan kucarikan dia perempuan yang tepat, akan aku tarik salah seorang saja dari gedung mewah ini ataukah dari kesibukkan jalan.”
Rambutnya yang berpotongan sebahu berwarna hitam legam menari-nari ketika ia berlari pergi. Bahkan ia belum pernah maju untuk mengungkapkan apa yang menjadi debat hati. Ia jua belum pernah melangkah ke hadapan lelaki (yang dikurung bisu) bercahaya lampu kota, lantas menyatakan jika ia mencintai lelaki itu karena keteduhan bisunya mirip dengan tenang pertengahan malam di bawah sunyi lampu kota; hal yang disukainya. Tapi, perempuan itu sudah bersembunyi di ruang gelap paling jauh. Katanya, ada yang lebih baik – jikapun itu adalah dirinya, ia memilih untuk jujur pada selembar kertas dan menunggu diamnya dirinya sebagai waktu-waktu tunggu.
“Terkadang, aku bermimpi untuk berbaring bersamanya di tengah jalan di bawah temaram lampu kota yang bergumul dengan berkas cahaya rembulan. Lalu dia berbagi bisu yang kusukai denganku, dan aku berbagi cerita-cerita diam yang kurangkai hanya dengan mengingat bayang atau senyumnya.”
Sebuah cermin genggam yang dipegangnya pecah. Dijatuhkannya dengan sengaja, karena ia terlalu takut melihat dirinya sendiri. Ia hanyalah perempuan bertubuh mungil, berwajah pucat yang tak menyukai polesan warna, seorang yang bisa menjelma menjadi kutu-kutu buku dimana saja dan tukang kebun kenangan.
“Aku menunggu. Seperti sebelum-sebelumnya.”
Hingga perempuan itu menghilang, mati dalam rasa yang membunuhnya.
Tahukah. Itu aku. Dan ini tentang kamu.

Debu Bintang


Itu pagi yang sulit untuknya. Aku mengetahuinya ketika dia membanting tas punggung kelabu ungunya di hadapanku. Kerutan di kening kepalanya diikuti mata bengkak yang memerah, menjadi kombinasi yang sudah menjelaskan seluruhnya, tapi dia tetap mau bercerita. Maka, aku di sini, menyeduhkan teh aroma jeruk garmot favoritnya sembari mendengarnya.
Dia bilang, pagi tadi mengendarai kendaraan bermotor dan melihat seorang bapak tua duduk di antara tumpukkan sampah yang menggunung; sebuah tempat pembuangan akhir.
“Itu gunungan sampah yang sebentar lagi hendak diangkut pergi. Tapi bapak itu masih di sana, beliau duduk dan mengais sampah plastik. Seakan ada lembar dollar dan bubuk emas yang berjatuhan di sana dan harus ditemukan.”
Dia bilang, siang tadi ketika diantar seseorang, dari balik kaca mobilnya, dia melihat seorang ibu paruh baya. Rasanya dia pernah melihat ibu itu sebelumnya – perempuan paruh baya tanpa alas kaki yang berjalan di antara aspal yang membakar kulit. Siang itu, dia melihatnya lagi dengan dua lembar rupiah nominal ribuan.
“Dia berjalan seperti biasa, tanpa alas kaki. Keriputnya masih sama; di sudut bibir dan matanya. Mata sayu itu. Lalu, yang membuatnya berbeda adalah dia memegangi dua lembar uang ribuan dan membelikannya gorengan di pinggir jalan.”
Dia bilang, ada tukang loak yang datang ke rumahnya tadi sore. Dia hendak menjual barang-barang bekas dari gudang penyimpanannya yang mulai berbau apak. Ketika dia menceritakan kisah ini, dia terlihat frutrasi. Menurutnya, tak seharusnya dia menjualnya. Dia seharusnya memberinya saja secara gratis pada si tukang loak.
“Tak kamu lihat wajah si tukang loak ketika kubilang itu semua harus dibayar. Dia mengecek lembaran uang di dompetnya yang lusuh. Aku terkoyak, bagai tengkulak angkuh yang tengah memeras petani miskin nan sederhana. Kemana nuraniku?”
Dia bilang, dia berhenti di sebuah lampu merah malam itu. Berhenti yang cukup lama sampai seorang lelaki tua merangkak dari bahu jalan ke arahnya. Lelaki yang cacat, matanya berbinar penuh harap untuk receh-receh yang mungkin terulur. Gelap malam seakan menelan lelaki tua itu.
“Sandal yang sudah rusak dipakainya sebagai alas tangan. Dia berjalan dengan tangan. Aku tak tahu harus melukisnya seperti apa. Malam itu geap, dan lelaki itu seakan tercekik oleh perut yang berbunyi di tubuh malam yang kejam.”
Dia menangis. Wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangannya yang terbuka. Bahunya berguncang hebat. Aku membisu, kujejalkan earphone dengan lagu-lagu sendu yang masih menyala pada dua telingaku. Kisah yang ingin dia ceritakan sudah usai. Lamat-lamat, bayangan dia mulai menghilang dari hadapanku, isak tangisnya menyatu ke dalam ruang hatiku.
Aku bilang; “kan kubuatkan puisi yang membalikkan kata dia menjadi aku. Dan aku menjadi dia.”
Lantas, penggal cerita tadi milik siapa? Aku atau dia?
Aku menangis.
This entry was posted in

Lelaki yang Dikurung Bisu (2)


Aku duduk di tepi sebuah gedung bertingkat; dilumat habis ruang pikirku sendiri. Membenamkan diri dalam kedua telapak tangan yang terbuka; sekepal malam da segenggam gulita. Remang lampu kota (yang kerap kali mengingatkanku padamu) dan sorot cahaya bermotor seakan menerkamku pada suatu potong peristiwa esok jauh hari; mungkin saja aku hanya menjadi bagian dari anggur-anggur yang berserak di tepi jalan.
Dan, hening meringkusku dalam ruang dingin paling maha. Bagaimana rasanya ketika kamu hanya berdua saja dengan hening. Dan hening benar-benar membunuh dan menghabiskanmu? Tapi, aku melihatmu. Lalu segala yang hening, menjelam jadi senyap yang penuh akan kenang ranum dan angan yang mengkuntum; siap tumbuh.
Sekali lagi, aku menemukanmu dalam jerat matamu yang bisu. Lagi-lagi kamu diterungku diam yang memborgol tubuhmu. Tapi tahukah kamu, itulah satu-satunya cara yang tanpa kamu sadari, berhasil memenjarakanku pada malam-malam penuh gelisah tentangmu. Kamu duduk di tepi keramaian, melawan bising; kala itu kamu mengenakan kaus merah dengan jaket kelabu. Saat itu kamu tengah melempari tiap ramai-ramai dengan diammu yang berbicara bisu. Sedangkan aku sibuk menyembunyikan diri di antara kelebat bayang orang-orang yang lewat, aku takut jikalau kamu menemukanku dan mengunciku di dalam matamu; aku akan mati dengan dada yang menyesak.
Lalu, salah seorang kawanku memekik. Kamu tak terlalu menarik, kecuali bisu-bisu yang menukik tiap leher keramaian yang (memang) pantas dicekik. Lantas kawanku pun berlalu, aku mengikuti langkahnya untuk segera meninggalkanku di belakang. Tapi kawanku tak pernah tahu jika kedua mataku dan sepotong hatiku sudah tertinggal di kepalan tanganmu. Aku tak lagi pernah memiliki hati yang utuh atau mata yang kukuh, sejak menemukanmu bulan lalu pada akhir subuh. Karena padamu, aku telah jatuh.

Sejenak Hening


“…aku melihatnya menyentuh apa yang kering menjadi hijau, apa yang hitam putih menjadi pelangi, apa yang kecil menjadi besar, apa yang membuat orang-orang menggelengkan kepala menjadi tertegun dalam hening. Dan, aku menangis dua kali untuknya,” ujarku pada dua kelas yang kuhadiri dalam penuturan sederhana tentang sebuah rekam visual gerak yang kupilih sebagai bahan diskusi. (Watch the video click here)
Selalu ada jeda hening – yang diiringi kembang kempis hidung setelah dikurung senyapnya haru – ketika harus melukiskan bagaimana lelaki dalam rekam video tersebut memberi kita gambaran kebahagiaan sesungguhnya. Selalu ada sejenak diam – yang disusul dengan tetes air mata perlahan terbit dari sudut mata – ketika harus mengutarakan bagaimana lelaki tersebut membeir tahu kita betapa indahnya kepedulian. Selalu ada tatap bisu yang panjang – yang ditemani isak kecil tertahan di kerongkongan yang tercekat – ketika harus mengukir bagaimana lelaki tersebut menjelmakan hal sederhana/kecil menjadi suatu hal yang luar biasa. Sebab, lelaki tersebut memberi ruang kecil penuh harap di sudut hati kita. Ruang itu adalah dunia nurani penuh peduli dan berbagi yang istimewa.
Dalam video berdurasi hanya tiga menit itu, aku belajar banyak. Bahwa, bukan memberi ketika kita berlebih yang membuat kita hebat. Tapi, saat kita masih bisa memberi walaupun terkukung keterbatasan itulah yang membuat kita berarti. Itulah sejatinya berbagi. Einstein pernah berkata, sesungguhnya kita terpenjara antara ‘pertempuran’ logika dan hati kita. Hal yang harus kita lakukan adalah membebaskan diri dari keduanya, ikuti bisik dari diri kita terdalam, mengikutinya dan mulai bergerak merangkul dunia menjadi lebih baik lagi.
Biar aku mengutip salah satu kalimat dalam buku Sejenak Hening-nya Adjie Silarus; kita paham bagaimana caranya mengorbankan sekian tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Kita bersedia bekerja keras, bahkan sangat keras untuk mendapatkan pekerjaan, mobil impian, ruman mewah, menjadi pengusaha sukses dsb. Akan tetapi, kita lupa untuk menikmati hari ini. Kita mungkin tidak akan mendapat ‘apa-apa’ dengan menengok sejenak pada tumbuhan kecil yang mengering di sudut jalan, pada orang gila yang luntang-lantung, pada ibu-ibu yang membawa beban berat di pinggiran jalan, pada bapak paruh baya yang mengayuh becak dengan beban berat, pada anak jalanan yang bahagia dengan sekantung receh, pada hewan kelaparan yang bersembunyi di kolong-kolong. Namun, coba tanyakan pada celah kecil paling dalam hati kita, apakah benar kita tidak akan mendapat apa-apa ketika mengulur tangan sejenak saja untuk melihat peluh-peluh di sekitar kita? Kita; selayaknya lelaki tersebut, tak akan kaya, muncul di televisi ataupun terkenal. Tapi sesungguhnya, kita telah mendapatkan apa yang tidak bisa dibeli dengan uang; sebongkah cinta, yang dikomposisi oleh bahagia, sederhana, peduli, berbagi, damai dan hati kita sendiri.
This entry was posted in

Orientasi yang Menjejak di Hati


"Jangan tanyakan apa yang bisa almamater berikan padamu. Tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan pada almamatermu.”
Kamu bangun pagi – berlomba dengan matahari, menyusuri bahu jalan dipayungi remang lampu kota yang mengiringi tiap langkahmu, membawa beban berat di kedua tangan dan punggungmu, lalu meneriakkan salam juga jargon yang menyentak butanya pagi; seluruhnya bukan tanpa arti.
Lalu, kamu dimasukkan dalam ruang penghakiman untuk hal-hal kecil nan sederhana yang kamu pandang dengan sebelah mata. Kamu merengut kesal, mengerjakan pekerjaan dengan separuh hati. Namun, ingin atau tidak, kamu tetap harus memerbaiki semuanya jika tidak ingin dibakar terik untuk kedua kalinya; semuanya bukan tanpa makna-makna.
Lagi, kamu digiring untuk mengikuti sejumlah permainan dengan post-post tertentu. Kamu menyesak, terasa konyol. Belum lagi setelahnya, kamu diminta untuk berdiri dalam hitungan di lapangan, bersama bentakkan dan teriakkan. Kegaluhan di hatimu berkecamuk; menyesal menjadi bagian dari rangkaian hari-hari itu, namun; seutuhnya bukan tanpa tujuan.
Waktu-waktu dimana jam tidurmu mampu dihitung dengan lima hingga tiga jemari; berakhir sudah. Remah-remah yang tersisa hanyalah atribut yang sudah rusak, teronggok diam di sudut kamarmu yang paling gelap. Tapi coba kamu tengok sejenak ke depan cerminmu. Rasanya kamu berubah jadi berbeda – bukan kantung mata yang semakin terlihat jelas, bukan pula rambut yang teracak-acak. Melainkan suatu lain yang tak bisa dilihat dengan telanjang mata semata. Kamu menjadi pribadi yang berbeda.
Tertegun; kamu menyadari ini lebih dari sekadar refleksi diri dengan siraman rohani dan motivasi. Ini juga bukan hanya orientasi biasa dengan rangkaian acara yang itu-itu saja. Ini adalah hari-hari milik dorongan kuat yang membuatmu membusungkan dada bangga, karena memiliki almamater terbaik.
Tiga hari ini kamu ‘dipaksa’ untuk mengalahkan matahari pagi; kamu belajar disiplin waktu, bangun lebih awal – hingga menghindari alasan klise dari terlambat; macet atau kesiangan. Kamu terus menyuarakan yel-yel hingga nafasmu bermegap-megap, tanpa kamu tahu, lewat itu semua; kamu memeroleh semangat pagi yang membangunkan energi motivasimu. Lalu, kamu dikurung dalam ruang penghakiman penuh tekanan hanya untuk hal kecil; yang sesungguhnya, memberitahumu untuk memerhatikan detail dan tidak memandang rendah/remeh-temeh hal-hal sederhana. Dan, permainan-permainan itu; mengajarmu tentang ‘mengalahkan diri sendiri’ dan ‘memenangkan diri kelompok’. Lantas kamu terdiam cukup lama disetubuhi sunyi; nyatanya kamu tengah meresapi tiga hari yang begitu berharga.
Sementara itu, kamu terbayang tiap sore, ada seorang kakak yang terus berteriak dengan pertanyaan yang mengulang; kamu mahasiswa, apa kebanggaanmu?
Kali ini kamu mampu tersenyum dan menjawab tegas; Aku mahasiswa, almamater dan karya-karyaku adalah kebanggaanku; untuk persada dan sesama!
Kamu bangga.
Aku bangga.
Kita bangga.
Bersama Universitas Multimedia Nusantara. 

(Tulisan ini dimuat di website resmi OMB UMN 2014 sebagai pemenang utama challenge menulis pengalaman mengikuti OMB UMN 2014. Penilaian dilakukan oleh BEM UMN. Terima kasih)

Friday 12 September 2014

Kelas Inpirasi Tak Terganti

Tadi siang (11/9) aku mendapat kesempatan untuk mengajar kelas inpirasi di SMP Islam Terpadu Almaka yang lokasinya di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Aku memberi materi mengenai kepenulisan kreatif yang kurangkum dalam slide show bertajuk ‘Kekuatan Kata: Menjelajahi Dunia dengan Karya’. Ini adalah pengalaman pertamaku menjadi guru, walau hanya dua jam lamanya, tapi dalam pertemuan singkat itu aku belajar banyak. Nyatanya tak mudah untuk tetap bercuap-cuap akan materi yang ingin disampaikan, non-stop dalam waktu dua jam. Hal itu membuatku kagum dengan pekerjaan guru dan dosen, yang tetap sabar membagi ilmunya sekaligus menghadapi kelakuan anak murid yang beragam karakternya.
 
“Selamat datang, Bu Veronica,” ujar Muhammad, salah seorang anak lelaki dengan cengiran lebarnya yang dipenuhi malu kala menyambutku di kelasnya. Sontak seisi kelas tertawa, rasanya tidak cocok jika aku dipanggil ‘Ibu’, seharusnya ‘Kakak’. Lalu, kelas itu pun dimulai dengan untai canda tawa yang tak henti hingga kelas usai. Kelas pagi itu berlangsung penuh semangat, diwarnai tanya-jawab yang lebih mengena pada ‘sharing bareng’. Cukup banyak anak yang mengacungkan tangannya ketika ditanya siapa yang ingin menjadi penulis. Mereka juga setuju jika selembar kertas adalah tempat mereka menumpahkan ekspresi hati yang paling jujur.  Kelas itu diakhiri dengan berfoto ria dan selfie bersama.
Aku selalu berharap jika impian-impian yang menggantung di kelas tadi tidak berhenti sebagai mimpi. Tapi akan terus membumbung tinggi diiringi anak tangga yang berjalan untuk meraihnya. Karena dalam kelas inpirasi pagi tadi, tak hanya profesi seni menulis yang ingin mereka geluti, tapi juga bidang seni lain. Membuat kelas itu menginspirasiku sendiri, bahwa tak pernah salah untuk memiliki banyak mimpi, itu justru menyunkti kita untuk mengembangkan potensi diri. Salam rindu dan kreatif ya, buat anak-anak SMP IT Almaka. Semoga kelak kita bertemu lagi di esok hari yang lebih sukses. Terima kasih untuk keramahan guru-gurunya, dewan sekolah hingga antusiasme anak muridnya. Kalian semua hebat!