Monday 20 July 2015

Hal-hal Tentang Lelaki yang Berdiri Di Bawah Hujan



Rein, apa yang terlintas di kepalamu perihal lelaki yang berdiri di bawah hujan?
Mungkin pernah seorang perempuan bangun di sebelah tempat tidurmu, lalu menarikmu ke depan kaca jendela di sebuah pagi yang mendung untuk menunjukkan seorang lelaki yang berdiri di hadapan sebuah rumah. Kira-kira seperti ini lelaki yang kamu sarangkan pandangan padanya; mengenakan pakaian sewarna malam tanpa payung. Lalu, terdengar guruh bersahut-sahutan dari ujung langit setelah kilat petir menjilatinya. Seluruhnya mengabarkan satu hal; awan yang dihamili lautan, kini siap melahirkan hujan. Menderas. Dan si lelaki masih berdiri di sana. 
 “Rein, ini hujan, dan kalender menunjukkan sedang bulan Juni.”
Kamu mungkin melempar tatap paling bingung pada perempuanmu itu. Rein, lelaki itu punya mata yang mampu menampilkan ada seseorang yang ia tunggu dan lebih kuat dibanding langit yang penuh teka-teki di atasnya. Bisa dipastikan, ia tengah berusaha menyatakan cinta – lewat cara meminang ketabahan dan mengusir jejak keraguan dengan begitu sempurna. Kamu bisa melihatnya mulai kuyup didera hujan. Andai kamu mendekatinya, kamu bisa merasakan bahwa hujan baginya adalah pesan cinta dari langit untuk Bumi kekasihnya.
“Rein, ada rindu yang lebih gigil dan kenang yang begitu basah, lebih dari sekadar senandung lebat hujan.”
Aku tahu, kamu muak – seperti salah seorang penyair (Aan Mansyur) pernah bilang; ‘…tidak mau kudengar musim hujan kausebut puisi seperti remaja patah hati’. Kamu berusaha melayangkan pikiran ke lembar-lembar kerjamu – langit yang tengah mengandung itu bukan menjadi perkara bagimu. Tapi perempuan yang kamu temui semalam di bar itu menahan lenganmu, melirikmu dengan menggoda; Rein, puisi adalah pasangan bercinta yang kasar – kadang seperti perkelahian yang menggairahkan.  Kamu terkejut, lantas dengan sedikit percik bara di tengah beku hujan, kamu ucapkan padanya mengapa perempuan itu tak lantas turun dan menghangatkan lelaki itu dengan dekap tubuhnya. Perempuan itu tertawa kecil lalu mendelik padamu;
“Lelaki itu sekadar berdiri di bawah hujan. Tapi kamu, Rein, ada hujan di matamu – yang buatku ingin berdiri selamanya di sana, menunggumu datang membawakan seikat payung untuk kita berdua. Dan membangun rumah dan keluarga di matamu, bulan Juni.”

Teruntuk seseorang yang meminang hujan dalam namanya, Rein Mahatma. Suatu waktu beliau pernah bilang agar aku membaca puisi sekali lagi di ruang kerjanya, tapi sampai sekarang belum sempat kupenuhi janji itu. Dan lewat semat rindu pada hari-hari, aku menulis ini dengan mendung di mataku untuknya. Terkadang kata-kata semacam percik-percik darah, atau mungkin juga sisa hujan kemarin malam. Maaf karena aku sering bodoh dan menyusahkan.

Bye-bye dalam Sendiri


Baiklah, lupakan aku yang kerap datang berkunjung ke ruangan lelaki itu dengan larik-larik puisi yang sudah dianggit rapi untuk makan siangnya. Karena pada kesempatan yang sudah kutunggu ini, ia akan melihat bagaimana aku telanjang tanpa kata-kata yang biasa kukenakan sebagai pakaianku sehari-hari. Aku rasa itu akan lebih menggoda – karena berhasil membuat penasaran menari-nari di tubuhnya yang sering kali berusaha menebar pesona ke banyak pasang mata selain aku. Untuk itu, cerita ini berangkat. Tentangnya.
Suatu waktu – ia yang tahu jika perempuan paling mudah takhluk melalui telinga – berkata padaku, aku menyayangi kamu. Jangan bayangkan sebuah makan malam melankolis dengan sebatang lilin aromaterapi atau minuman berwarna dengan cincin kejutan di dalamnya. Kalimat itu sederhana meluncur pada sebuah malam sederhana, pada pertemuan yang tidak nyata pula. Aku sayang kamu. Lelaki berpakaian malam itu mengulangnya tepat di hadapanku. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku dengan tidak sabar sembari menimpali, sudah berapa telinga perempuan yang mendengar kalimat itu dari bibirmu?
Lalu, hujan. Cukup deras. Ia juga tidak menyerah.
“Aku melihat hujan yang indah di matamu,” sahutnya – lengkap dengan tatap matanya yang teduh dan begitu ampuh; sayangnya tidak di mataku. Aku melempar senyum paling sempurna yang bisa kumiliki untuknya. Tentu saja, dulunya aku adalah pemeran unggul lakon-lakon di teater dalam urusan senyum-tersenyum.
Sialan, umpatku dalam hati. Kau pikir sudah menjelma Sapardi? Mimpimu.
“Cintamu tidak setabah Hujan Bulan Juni.”
Lalu, ada guntur kejut di matanya. Aku berdiri dari bangku tepat saat ia menyarangkan keheranan-tanpa-dosa wajahnya di hadapanku. Tahukah ia, selalu ada alasan mengapa perempuan suka memakai sepatu berselop tinggi (baca: high-heels), selain karena agar terlihat tinggi berkaki jenjang, lebih seksi menggoda, mampu menantang, dan lain-lainnya, itu karena tajam selopnya yang mampu menusuk lelaki bertelinga kelinci atau yang hobi bermain yoyo. Dan, ia yang bermain yoyo – aku jadi pionnya, lalu rasa yang aku usahakan sejati itu jadi mainannya. Menyenangkan sekali; kamu hanya perlu menarik sedikit diriku agar jatuh dalam teduh peluk matamu, lalu mengulurnya cukup panjang agar ada jeda yang membuatku terus merangkak menggapaimu. Andai ia tahu, si pion kini tahu ke mana seharusnya ia menghamba. Dua hari berair mata cukup jelas untuk bercermin pada apa yang nyata dan tidak; yang hanya sekedar tumpukan janji, ucap gulali, dan buai dongeng.
“Hei, katanya aku mencintaimu dan kamu menyayangiku. Kalau begitu, ingat keinginan kita berdua untuk mengubah kota jadi abu? Ayo habiskan tabungan rencana pernikahan kita dengan membeli bensin. Kita akan berciuman sembari melihat api bekerja*.”
Api bekerja. Aku takut ia adalah kamu – Kamu; yang diam-diam mengucap selamat tinggal lewat langkah-langkah ciut di belakangku, lantas ke mana segala kalimat yang dulu kamu ucapkan bagai pujangga pada angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka? Sinting memang. Kamu mewujudkan kalimat; kamu tidak mengatakan selamat tinggal pada orang yang kamu sayangi, kamu cukup berjalan pergi. Selamat jalan, kalau begitu. Tepuk tangan sayonara untukmu. Kamu dengan permainanmu, aku dengan puisiku. Semoga kita bertemu di setubuh malam yang paling nikmat. Suatu hari. 

Kemarin-kemarin lalu, ia bilang selamat tinggal padaku. Aku tertawa dan menarik lengannya dengan penuh manja, sembari bilang selamat tinggal? Itu untuk dua orang yang memiliki hubungan lantas pamit dengan ucapan itu. Dan, untuk kita, sejak kapan aku memanggilmu 'sayang'? Kamu cukup bye-bye dengan sendiri.

*gubahan dari puisi Aan Manysur berjudul ‘Melihat Api Bekerja’
*judul tulisan ini terinspirasi dari kawanku yang mengomel tentang lelaki yang menggantungkan segenap harapan palsu di langit-langit rumahnya
*tulisan ini adalah bagian dari episode 'Melawan Naga', yang mereka bilang lebih takut ditampar olehku dengan kata-kata daripada tangan kecilku, hem, baiklah. Apakah aku semengerikan itu?
This entry was posted in

Thursday 16 July 2015

Melihat Sepotong Senyum Lelaki yang Menyulam Pagi


Ini teramat sederhana hingga tak tahu dari titik mana harusnya kumulai menenun cerita. Pagi tadi terasa biasa saja – aku bangun dengan kaca jendela yang sudah mengabur oleh embun pagi dan pemandangan yang sama; sepasang nenek-kakek yang berolahraga mengelilingi kompleks perumahan. Tapi itu sedikit hari yang berbeda. Aku berjalan satu persatu langkah dan telah sampai di pertengahan jalan menuju rumah makan. 
 Ketika aku berusaha melimburkan diri di antara jalanan yang dirayapi sepi, sudut mataku menangkap sebuah gerobak barang loak dari ujung sana.  Didorong oleh seorang lelaki yang sedikit lebih muda dariku dengan tubuh kecilnya – di sebelahnya ada seorang anak kecil kira-kira baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Lelaki yang tengah mendorong gerobak barang bekasnya itu mengenakan kaus oblong kelabu yang sudah dipenuhi noda hitam di sisi-sisinya, celana berwarna gelap pendek selutut, dan sandal karet. Anak kecil yang berjalan mengiringinya, bisa kutebak sebagai adiknya, menenteng karung beras sebagai tempat pulung, yang disampirkan di punggungnya.
Hal yang menarik adalah si lelaki tersenyum sepanjang perjalanan mendorong gerobak, dan si adik hanya memasang wajah cemberut – mungkin karena kepanasan, atau tidak mendapat barang plastik untuk dipulung, karena kau mendapati karungnya baru seperempat terisi. Tapi senyum bertengger setia di bibir si lelaki – saat kita berpikir itu adalah hal paling sulit yang bisa dilakukan di tiap pagi dalam keadaan seperti itu, kecuali gerutu-gerutu. Ia masih mengenakan senyumnya dengan sempurna, mungkin karena hal-hal sederhana; seperti kemampuannya untuk bangun pagi itu dan membantu Bapaknya bekerja mencari uang, mengingat sebentar lagi hari raya tiba dan kita merayakan kemenangan. Atau senyum itu dibentuk karena syukur sederhana tentang masih adanya kesempatan hari itu baginya menikmati matahari pagi yang walau terik, masih mampu memeluk hangat. Mungkin juga karena puasanya lancar bulan itu, atau rencananya pulang ke kampung halaman. Bisa saja tidak karena apa-apa, kecuali ia ingin saja tersenyum pagi itu. Sebab itu hal baik paling mudah dan hebat yang bisa dilakukan untuk menyapa dunia dan semesta, serta bentuk terima kasih pada Tuhan yang masih memberinya jiwa hidup hingga detik pagi itu ada.
Dan percayalah, itu sepotong senyum dari seorang anak lelaki gerobak loak yang mampu menyulam pagi dengan begitu manisnya. Kapan terakhir kali aku jatuh cinta pada hal sederhana? Sedangkan kebahagiaan tak melulu kutemukan pada hal-hal mewah. Selamat tersenyum hari ini.
This entry was posted in

Wednesday 15 July 2015

Menyentuh Peri Kecil yang Mengobrol Bersamamu Tiap Hari


Apa kamu punya teman spesial sewaktu kecil dulu – bisa saja itu serupa kawan imajiner, jin yang kamu beri nama, roh penunggu pohon dekat rumahmu yang jadi sahabatmu atau siapapun itu, yang menemanimu tiap harinya dan kamu nyaman dengannya karena alasan sederhana; bisa kamu ajak mengobrol sepanjang hari dan menerima keanehanmu. 
“…suatu hari itu, aku merasakan tubuhku tak kuat lagi, bibirku begitu lelah mendaraskan cerita. Tapi sekalinya bertemu denganmu, aku merasa hidup sekali lagi. Kamu selalu mampu melontarkan topik yang mengajak semangat agar dipompa kembali, dan aku tak pernah ingin kehilangan keceriaanmu di hari-hariku. Itu bagian penting dari warna hidupku.”
Rasanya aku memilikinya – dan menemukannya. Ia adalah perempuan mungil yang pernah kuungkapkan di sini; sosok yang sama, yang kupanggil si peri kecil. Dan, ia nyata. Aku bisa menyentuhnya, dan ia balik merangkulku – di tiap tautan jarinya dan gandeng tangannya, ia adalah yang mengajarkan padaku bagaimana tersenyum di pagi hari setelah menangis di malam harinya. Ia di sampingku dan terus berceloteh tentang apa saja – berbagi rahasia, pengalaman yang serupa pil pahit di pangkal lidah, detak-detak jantung akan pandangan pertama, dan hal-hal remeh-temeh lainnya; itulah ia – membuatmu tidak hanya menjadi anehnya diri sendiri dan utuh diterimanya dalam sederhana; kamu bisa jadi konyol dan gila terus-menerus, tapi karenanya kamu merasa seperti memiliki seseorang. Kamu tak lagi sendiri.
“…kamu menyulap hari-hari sebagai waktu yang gagal untuk mengucapkan selamat tinggal, dan berganti jadi sampai jumpa. Kamu membuat aku menunggu pertemuan kita.”
Dan siang itu – ketika aku dengannya bertingkah seperti seorang bos di sebuah resto – ia bercerita tentang masa-masa sebelum ia jadi peri. Aku akhirnya menyadari satu hal – ia punya sepasang sayap indah yang rapuh oleh kenangan-kenangannya; seputar kehilangan, angan, tinggal dan remah-remah masa lalu lainnya – yang aku yakin siapapun pasti memilikinya dan pernah pasti terluka karenanya. Ingin aku memegang wajah mungilnya dengan tegas sekadar untuk memberinya bisik kecil, jika ia telah menjadi peri kecil yang mampu menyihir orang lain dengan keajaiban mungil yang tak disadarinya.
“…kamu mampu menahan seseorang untuk obrolan panjang, kamu mengetahui apa yang tak kamu tahu, kamu menjadi diri sendiri di tiap kesempatan, berupaya menjadi kuat dan tersenyum pada orang-orang tiap harinya. Itu semua usaha untuk menyebarkan cinta, untuk itu kamu peri yang istimewa, Fransisca Desfourina – lihatlah, kamu punya nama indah yang nyaman dan lembut ketika disebut. Dan, tak ada sihir jahat yang bisa merenggut.”
This entry was posted in

Jika Aku Sakit


"Jangan bertanya: sudah sembuh? Tidak ada orang yang betul-betul sehat. Aku cuma lebih sakit darimu. Aku sedang memberi diriku kesempatan berharap dan percaya*.”
Aku membawa cerita dari atas tempat tidurku yang menyulap menjadi meja makan sekaligus ruang bacaku di kala senggang – menyedihkan ketika aku sesungguhnya lebih memilih sudut kedai teh untuk melahap bacaan dan resto kecil untuk menghabiskan makan siang, tapi sepotong sakit yang menempel di tubuhmu, membuatmu jadi orang yang bergantung pada satu ruang. Dan, dari ruang yang sama, aku menulis cerita-ceritaku yang kerap menggantung. Apalagi jika tentang kamu – yang kemarin lalu bertanya; apa semuanya baik-baik saja? Aku punya sebotol obat-obatan dan segelas air putih untuk kamu beri pertanyaan itu.
“Biarkan kunikmati penyakit yang mengisap jiwaku. Rasa sakit adalah alasan orang menggunakan kata kerja dalam hidupnya. Mencintai dan menunggu, umpama*.”
Untuk Kamu, sakit yang mana yang tengah kamu tanyai kabar? Sedangkan aku melihat matamu masih tebal ditimbuni waktu, hingga samar melihat ada bilik terdalam di diriku yang merindu saat ketika kita berada di ruang yang belum dinyalai lampu – hanya berkas cahaya remang lampu kota dan sinar bulan yang berebut meningkahi – dan bayangan kita saling beradu dan bertukar peran. Ketika itu, senyum dan tatap mata yang mengambil lakon di panggung obrolan kita, yang kini hanya bisa diraih lewat pesan singkat yang tidak pernah nyata; seperti kamu melihatku yang perlahan hanya sebagai bayang semu.
“Jika aku sakit, tersenyumlah. Tidak ada yang cukup di dunia ini – tapi senyuman tidak pernah kurang.*”
Biar kudongengkan padamu hari-hari yang kujalani dengan kesedihan tumbuh bahagia dalam diriku; aku merindukan bangun tidur dan bekerja seperti biasa – mengejar sejumlah proyek, lalu menantang diri sendiri lewat berbagai perlombaan, meniti waktu hingga larut malam tanpa peduli apakah hantu akan datang merangkak, keluar rumah dan mencari orang-orang baru untuk kusapa ‘hai, sepertinya kamu bisa jadi salah satu tokoh rekaan dalam ceritaku? Bagaimana dengan obrolan dengan secangkir earl grey?’. Tapi aku hanya duduk depan televisi dan buku sepanjang hari menunggu kapan orang-orang berjas putih mengatakan segalanya akan berjalan lancar. Kamu, ini sakit yang tidak membunuhku, aku yakin – ada yang lebih dari itu, seperti bagaimana kabarmu? Apakah sehat?
Aku baru saja memotong apel siang ini, sembari membayangkan apel itu seperti kepalamu.

*kutipan bait-bait puisi ‘Jika Aku Sakit’ karya Aan Mansyur
This entry was posted in