Thursday 26 February 2015

Suara Wanita yang Menarikku dari Mimpi


“...dan malam ini aku terbangun. Mendengar lengking suara seorang perempuan meminta tolong. aku lantas berlari keluar dari mimpi. Perempuan itu terkapar, dihajar seorang pria yang telah ia tikam sampai berdarah."
Biar kubisikan kenyataan lain padamu, peristiwa itu terjadi awal Februari lalu. Aku sedang tidur - berusaha agar tidak dimakan nyamuk dan diganggu batuk - seorang wanita yang tidur di sampingku terus bergeliat sembari berbicara sendiri. Aku terbangun, kusangka ia tengah dicakar mimpi-mimpi buruknya. Tapi tidak, sebelah matanya berdarah, dan ia terus memeganginya; bukan karena nyeri yang menusuk, sebab aku tak melihat ringis sakitnya. Mungkin lebih karena ia tak ingin kelebat-kelebat masa lalu menjelma hantu yang menggerogoti matanya yang kerap terjaga di pertengahan malam. 
Apa kamu pernah dengar, Ver, tentang air mata yang turun dari mata sebelah kiri. Itu tangis yang terbit dari kesedihan, dan aku telah mencongkelnya. Membuangnya jauh-jauh.
Dadaku bergemuruh. Kelindan kisah yang pernah ia sampaikan hari kemarin, berlari-lari di telingaku. Aku belum lupa ceritanya tentang seorang lelaki yang mengejarnya hampir delapan tahun lamanya, mendapatkannya, menawarkan sebuah rumah kecil, yang berakhir menjadi terungku baginya. Ia mengendap dalam sebuah ruang kamar hingga menjadi tulang; menangis sembunyi-sembunyi di bawah kolong berbau arang; meraung bersama mata yang menyala merah nyalang; bersama seorang lelaki yang kerap menjadikannya samsak dan berteriak jalang.
Apa kamu pernah lihat, Ver, tentang air mata yang turun perlahan menjadi darah. Padahal sebelumnya adalah hujan yang muncul dari ucap cinta.
Aku meremas pundaknya yang berguncang. Ketika ia mendongak ke arahku, baru kupahami; kesedihan paling dalam ada di tiap tetes air matanya. Kedalaman luka ada pada raung tangis seorang wanita. Pada sebuah malam yang membiru; oleh memar dan lebam. Tapi ia hanya menyengir lebar, matanya yang hanya tinggal satu menatap lurus ke arah jendela luar yang mengarah langsung pada teras rumah. Aku terhenyak; ketika kutengok keluar, aku melihat bola mata kirinya tertancap di atas kuku tajam seorang lelaki yang sudah mati olek tikaman – tepat di jantungnya.
This entry was posted in

Sunday 22 February 2015

Al (3)

"…aku senyap menghadapi bayangmu yang membentuk hari-hariku.”
Pada sebuah petang, aku mendapatimu duduk di balik jendela besar kafe, yang memiliki jam dinding berbandul usang yang khas. Jantungku riuh. Aku menghampirimu. Dan, kamu – yang sedang ditimbuni kertas-kertas kerjamu – menatapku seolah bertanya; apakah kita pernah bertemu. Aku mengulum senyum. Ingin kubilang padamu, beriringan dengan tawa kecil yang terdengar hambar, jika aku bukan perempuan yang mampu membuat lelaki mengingatku pada pertemuan pertama. Ingin kukatakan padamu, bersamaan dengan lengkung senyumku yang terlihat pahit, jika aku bukan perempuan yang bisa membuat lelaki diam-diam mencari tahu tentangku, dan segera meminta nomor teleponku dari kawanku. Aku tidak semenarik itu. Tapi, aku hanya membisu dan mengambil duduk di hadapanmu yang masih melempariku dengan tatap bingung itu.

“Tidak. Aku hanya perempuan penjaja cerita, yang mencari orang untuk mendengar kisah-kisah. Apa kamu bersedia?”
Kamu tidak menjawab, dan aku tetap saja bercerita. Kuceritakan padamu kisah ini; tentang seorang perempuan yang gila, karena mengatakan pada orang-orang jika ia kehilangan matanya. Padahal jelas sekali, kedua manik hitam matanya masih terpasang di kelopak matanya yang menghitam karena lelah menantang malam. Perempuan itu bilang, ada dua alasan kemungkinan matanya lenyap; pertama, karena matanya menempel pada layar ponselnya sendiri yang menampilkan nama seseorang. Kedua, karena telah bersarang di hati seseorang.
Kamu mendongak. Kutemukan kejut di wajahmu yang penuh dengan garis-garis letih. Kamu menyahut, akhirnya kamu ingat. Aku tersengat, apa kamu tahu jika tanganmu yang tergenggam sekarang, sebenarnya menyimpan manik mataku? Lalu, kamu meneruskan ucapanmu. Kamu pernah bertemu denganku – tapi bukan aku. Sorak girang yang gaduh di ruang hatiku seketika lesap.
“Aku pernah bertemu denganmu, seseorang mirip kamu. Ia adalah perempuan dari masa laluku,” ujarmu, lirih; mungkin mulai dikoyak kenangan yang melarutkanmu. Kamu pun terus bercerita tentang seseorang lain – yang perlahan terdengar samar dan tak lagi kudengar.
Dalam gelap yang mengggulung, aku hanya melihat diriku yang runtuh di matamu, yang tak tahu ada cinta yang perlahan luruh, karena terus menunggu. Apa kamu pernah tahu?

Teruntuk Al, ini seranting kisah yang rapuh lainnya. Kutulis pada suatu sore yang cerah, tapi aku mendengar guruh bertalu di kejauhan. Mungkin ada yang tengah meneriakkan rindu.

Indah Hanaco: Tulislah Apa yang Kamu Suka, karena Tulisan yang Baik adalah yang Ditulis dengan Hati


Pagi itu pada hari kasih sayang (14/2), di Function Room Gramedia Matraman, digelar Gathering and Fun Writing Workshop Menulis Romance bersama Indah Hanaco dan Jenny Thalia. Kegiatan yang diselenggarakan oleh penerbit Elex Media Komputindo itu dibagi menjadi 3 segmen. Dua segmen di awal adalah sharing bersama kedua penulis, dan penerbit (juga editor). Segmen terakhir adalah praktek mengekseskusi ide menjadi outline. Ketiganya dipandu oleh marcomm Elex Media, Intan. Dan, sharing yang penuh cinta itu pun dimulai.

Aku duduk dua bangku dari depan, dan menyimak sesi sharing bersama penulis dari Indah Hanaco. Beliau yang hari itu tampil dengan blouse jaring-jaring berwarna pink-keunguan dan rok hitam selutut, berbagi cerita panjang mengenai pengalaman kepenulisannya.
 “Pertanyaan paling dasar ketika mulai menulis adalah bagaimana mendapatkan inspirasi. Aku cuma bisa bilang, itu muncul dari mana saja dan kapan saja. Contohnya karyaku yang berjudul ‘After Sunset’, itu inspirasi awalnya dari baca tweet-tweet Wow Fakta,” ujar beliau, yang kerap menulis sambil membuka-buka KBBI. Tak hanya dari tweet-tweet yang random, tapi bahkan dari sepotong dialog film yang selalu tertancap di kepala atau iklan yang terus-menerus terngiang, bisa jadi bahan tulisan untuk Indah Hanaco. Jadi, jika ada sesuatu hal yang mengundang ekspresi kita, langsung ditulis saja, tidak harus menjadi tulisan yang bagus, karena pada dasarnya: yang penting menulis terlebih dulu. Ketika itu, aku jadi ingat satu quote ini: “menulislah yang buruk, kamu selalu punya waktu untuk mengeditnya dengan brilian.” (untuk kalimat ini, kamu bisa mencari tahu lebih banyak dalam buku Creative Writing-nya A.S Laksana)
Saat inspirasi itu sudah diterima, pastinya akan muncul kendala. Kendala terbesar adalah mendisiplinkan diri, menetapkan hati untuk mulai mengembangkan inspirasi dan ide dasar itu. Bagi Indah, jika writers block menyerang, beliau berusaha menakhlukkannya. Beliau tidak meninggalkan tulisannya begitu saja. “Tetap aku kerjain, walaupun hanya jadi satu paragraf. Jangan ditiingal. Aku pernah meninggalkan naskah, dan sampai akhirnya gak pernah selesai. Satu lagi, mulailah menulis tentang apa yang kamu sukai, karena dengan itu, tulisanmu akan lancar dan writers block tak akan ada.”
Cara terbaik agar sebuah cerita bisa dieksekusi dengan baik dan tidak berhenti di tengah jalan karena tak tahu apa yang ingin ditulis lagi, adalah dengan membuat outline. Manfaat outline menurut Indah Hanaco, berfungsi memagari cerita, membuat penyelesaian naskah jauh lebih mudah (benar jika ada yang bilang, ketika kamu telah berhasil membuat outline, kamu sudah menyelesaikan 40% dari naskahmu), serta menciptakan fleksibilitas terhadap perubahan saat pembuatan naskah.
“Bagiku, outline yang baik adalah memiliki konflik di tiap bab ceritanya. Minimal harus ada kejutan. Tak hanya sebagai tempelan, tapi bagian dari cerita yang mendetil,” tambah Indah, yang mampu pernah menyelesaikan naskah novel hanya dalam waktu 9 hari. 
Selesai dengan ide dan outline, penulis biasanya menghadapi masalah lainnya; mengeksekusi outline agar jadi karya yang diterima. Maka itu, penting untuk memelihara konsistensi dan semangat menulis. Itu bisa didapatkan dengan memikirkan royalti yang akan didapatkan (hehehe). Ada satu kalimat yang aku suka pada bagian ini, Indah Hanaco bilang jika kita sebagai penulis, tak mungkin bisa menyenangi semua orang. Bukankah menulis itu sendiri tujuan awalnya adalah membahagiakan diri sendiri? Lagipula, ketika kita bahagia dalam menulis, tulisan kita juga akan membahagian pembaca yang menikmatinya. Jadi, kunci utama sebelum mulai menulis adalah siapkan diri untuk larut dan tenggelam pada cerita yang kita buat, saat itulah kita mencapai titik menulis dengan hati. 

Kalau cerita sudah selesai dan siap kirim, pastikan itu dikirim langsung pada editornya. Untuk Indah Hanaco, beliau tidak terlalu menyarankan mengirimkan naskah cerita kita pada teman-teman, karena bisa saja teman kita memiliki selera baca yang berbeda dari naskah kita. Hingga akhirnya, teman kita berkomentar yang bisa menjatuhkan kita, atau karena tidak enak hati, memuji-muji kita. Sulit sekali menemukan titik objektivitas dalam penilaian. Jadi, percaya diri saja dalam mengirim naskah. Jangan pernah bilang takut mengirim ke penerbit besar dan mayor, bukankah setiap penulis besar juga dimulai dari penulis amatiran – yang tak pernah berhenti berusaha dan belajar? Mengenai proses belajar, Indah Hanaco bahkan masih belajar dalam memperkaya kosa kata. Tiap kali menulis, beliau masih membaca thesaurus, agar menghindari repetisi kata yang membosankan. Mungkin proses menulisnya jadi lama karena sambil memilah-milah kata di thesaurus, tapi itu bagian dari usaha. Tak ada jalan instan untuk menjadi penulis yang cerdas dalam diksi atau pemilihan kata.
Terakhir dari Indah Hanaco, “Sesungguhnya dalam dunia menulis, tak ada teori resmi yang mengarahkanmu harus begini dan begitu. Semua teori itu akan kamu dapatkan sendiri ketika menjalaninya. Pengalaman yang akan mengajarimu pada akhirnya.” (kalimat ini sejalan dengan apa yang diucapkan Agus Noor dalam kelas kepenulisan Cerpen Kompas yang kuikuti tahun lalu, sila cek di sini)
Aku yang duduk diam di balik bangku bermeja, hanya mengangguk-angguk sembari tersenyum. Bukankah menulis dengan hati itu begitu menyenangkan?

Tentang Indah Hanaco
Lahir di Pematangsiantar, 14 Oktober. Puluhan karyanya telah termuat di media nasional, dan belasan bukunya sudah terbit di berbagai penerbit di Indonesia. Seorang writer, dreamer dan lover yang kini menjadi full-time writer. Bukunya yang terbaru di penerbit Elex Media; Scent of Love in London, bisa didapatkan di toko buku terdekat.
This entry was posted in

Thursday 12 February 2015

AL (2)


Mengingat AL masih kerap menyesaki ruang kepalaku, mungkin perlahan AL akan memiliki episodenya sendiri. Dan, semoga saja tidak bosan.
Di suatu hari yang mendung, saat langit dipilin-pilin awan abu-abu, aku menyambar secarik kertas, dan bait kecil ini kutulis:
“…hujan hari ini panjang, merinaikan kisah kita yang kerap mengulang. Padahal, kukira sudah jadi arang. Sebab, kutengok hati ini telah usang.”
Aku masih menyukai hujan, dan tengah jatuh cinta – padamu, Al.
“…hujan hari ini masih bertualang, merintikan cerita kita yang sering berpulang. Padahal, kukira sudah jadi kenang. Sebab, kita tak lagi saling memanggil sayang.”
Menurutmu, bagaimana laku orang yang jatuh cinta? Tengah malam, ketika kamu menyapaku – itu obrolan pertama kita, aku nyaris tak bisa melelapkan diri di tubuh hening yang sudah disiapkan malam. Tiap mataku terpejam, bayangmu menjelma hantu yang terus mengusik, aku takut – sebagaimana hantu, kita kerap bersembunyi darinya, tapi bukankah ia sosok yang selalu membuatmu dicekik rasa penasaran?
“…hujan hari ini terus menuang, membulirkan bincang kita yang belum bersua sumbang. Padahal, kukira sudah jadi perang. Sebab, pertemuan kita sering menuai guncang yang bersilang.”
Kemarin, aku mengatakan curahan hati pada kawanku. Kubilang padanya, rasanya aku sudah tidak waras. Aku melihat senyummu di lengkung sabit, bisik namamu dari desau angin, wajahmu pada siluet petang, dan renyah suaramu dalam keramaian. Lalu, setelahnya, aku akan tersenyum sendiri. Tak hanya itu, aku pun meraih ponselku, membaca ulang sejarah percakapan kita di ruang obrolan. Mendadak, itu menjadi bacaan favoritku. Kawanku bilang, aku tak harus ke rumah sakit jiwa, aku hanya perlu mengakui aku telah jatuh cinta, dan itu adalah padamu, Al.
“…hujan hari ini terasa menerawang, mengalirkan tatapmu yang mengundang. Padahal, kukira tak lagi kita bersisa, bagai padang gersang tak berkunang. Sebab, tatap matamu yang mengundang, sudah lama hilang.”
Hari ini, hujan sudah berakhir di langit perumahanku, walau gerimisnya masih malu-malu mencumbui jalan dingin depan pekaranganku. Aku sendiri – kecuali kamu menyebut sunyi sebagai teman hati, itu lain lagi. Tapi aku merasa riuh, kepalaku gaduh menuntut hadirmu di manapun. Aku berusaha mengusir pergi pikiran yang tak henti menguliti hati yang sendiri. Hasilnya, aku ingin membagikan semua yang kutahu dan kurasa padamu, agar sepi tak lagi berusaha mengoyakku. Karena tiba-tiba, aku meraung-menggelepar di depan teras rumahku, hingga orang-orang dengan ribut dan paniknya mendatangiku, merecoki dengan tanya mengapa. Aku hanya bilang, aku didera rindu yang tak berkesudahan, dan hati ini terlalu sibuk menghasilkan cara baru untuk terus mencintaimu.
“…Al, pada akhirnya, harus kukatakan padamu, aku menyemat cinta di tiap mendung yang penuh teka-teki, seperti kamu yang masih serupa tanda tanya. Dan, cinta tak pernah terlambat menemukan jalan pulang. Tertanda rindu, perempuan yang diterungku dalam kedalaman mata sayumu.”

Sunday 8 February 2015

AL


aku tak pernah seberani ini menulis tentang seseorang (baiklah, baca : lelaki), dan memanggil sepenggal namanya
Al, ini malam yang sederhana.
Siapapun pernah memilikinya; tapi tidak dengan rasa yang berkabut, dan menempel di permukaan kaca jendelaku. Berkencan dengan bau tanah yang menguar, karena ini sehabis hujan. Dan, tatap mata sayumu membungkus seluruhnya dalam paket malam yang sempurna. Semoga tak ada rerintik luka yang ikut di dalamnya.
Al, ini malam yang pelan-pelan berperkara
Aku teringat pada orang-orang yang pernah bertanya padaku, kapan aku akan jatuh cinta. Sedangkan setiap hal tentang jatuh berarti sakit dan luka. Aku tertawa ketika mengenang bagaimana kamu bilang; cinta adalah metafora dari luka. Kamu boleh tertawa penuh menang untuk itu. Karena mungkin saja betul. Sejak aku menuliskan tentang pangeran rembulan, si pecinta teh, lelaki bermata jenaka hingga seseorang yang dikurung bisu, tak satupun yang bisa luput dari luka. Dan jika ini datang padamu, aku bisa meyakinkan diri, ini jatuh yang menjelma luka nan istimewa.
Al, ini malam penuh cerita-cerita janggal
Seseorang lainnya pernah bertanya padaku, mengapa aku takut jatuh cinta; sesungguhnya aku sendiri tak mampu menjawabnya. Ketika aku jatuh cinta, aku hanya akan terus menulis tentangnya dan berharap tidak menjadi gila.
Seperti ketika aku merasa aku telah jatuh cinta, aku melihat rembulan seperti sebulat bola bersinar yang diam-diam menyimpan rahasia mengerikan. Aku melihat hujan sebagai rintik kenangan yang muram. Aku melihat tawa jenaka seakan tanda kesedihan akan singgah. Aku melihat setubuh diam dan angan-angan adalah puncaknya gelisah yang menuai luka. Dan, aku melihatmu; dengan tatap sayumu yang sederhana. Lalu, aku takut jatuh cinta.
Al, ini malam yang resah
Rasa ini adalah puisi; seperti yang seseorang pernah tuliskan padaku, jika rasaku adalah lembar puisi yang terbakar tiap halamannya. Untuk itu, aku tak pernah berhenti dirundung teka-teki yang resah tentangmu. Sebab, pilihannya selalu dua; berakhir ketika ia dimulai, atau dimulai tepat ketika ia berakhir. Tapi hari ini, aku tidak melihat keduanya. Malam ini menawarkan pilihan lain; halimun tipis seusai hujan yang mengundang desau angin berkabut menjadi cara lain menyelesaikan perkara. Segalanya masih abu-abu, Al. Dan tak tahu sampai kapanmenunggu.

Aku Melihat Hantu pada Puisi-puisimu


Apakah kamu pernah datang ke suatu tempat karena sebuah janji dengan seseorang, lalu seseorang itu sudah memesan tempat dan minuman untukmu. Lalu, ia menunggumu agar datang – sesungguhnya, kamu sudah datang bermenit-menit lalu, hanya saja kamu tidak menampakan diri. Kamu justru mencari dinding gelap, pepohonan atau bahkan tubuh malam, berusaha menyembunyikan dirimu darinya. Aku pernah melakukannya. Pada sepenggal malam, disaksikan selengkung sabit yang bertanya-tanya.
Ia adalah lelaki yang pernah mengirimiku pesan. Ia bilang jika ia membaca puisi-puisiku di sebuah situs. Dan, katanya ia terjebak. Sejak itu ada hantu yang menggangu tidurnya, dan ia takut hantu itu berwujud aku. Aku tergelak ketika membaca chatnya, bagaimana mungkin kamu bisa menyatakan ingin kopi darat dengan menyebutnya hantu? Tapi, itu yang membuatku tertarik padanya. Malam itu kita bertemu, dan dia masih berbicara tentang sosok-sosok hantu yang membuatku benar-benar terganggu – karena rasanya aku juga pernah mendengarnya. Aku curiga, mungkin saja ia berkata jujur; jika ada hantu bermukim di antara larik-larik puisiku. Dan, ketika ia memintaku untuk menemuinya sekali lagi – malam ini, aku memilih bersembunyi; mencoba menjadi hantu.
Aku menangkap kegelisahannya – memesan bercangkir-cangkir kopi, menyala-matikan laptop, memandang resah layar ponsel dan mengumpat sesekali. Aku mencoba mengingat-ngingat puisi-puisiku di situs itu, dan mengapa aku menulisnya. Gonggongan anjing yang terdengar di balik semak-semak, membuatku tersadar. Itu puisi yang aku tulis tentang seseorang – yang berpulang bulan kemarin, setelah tubuhnya ditemukan membusuk di dalam kulkas pada rumahnya. Sebelumnya seseorang itu pernah menemuiku dan bilang, ia takut pada seorang lelaki yang mengatainya hantu. Membentaknya dengan kata hantu. Padahal, lelaki itu sendiri yang bagai hantu dalam hidupnya.
Aku gemetar. Lelaki itu menatapku dengan mata cokelatnya yang berkilat di antara remang lampu kafe. Itu lelaki yang pernah mengatakan seseorang dalam puisiku sebagai hantu – aku baru ingat. Dan, kini seseorang itu benar-benar menjadi hantu seperti yang lelaki itu olokkan padanya. Hantu yang tak hanya berumah di puisi-puisiku, tapi juga tubuhku, yang kini beringsut keluar dari balik pohon. Menyambar sebuah batu besar, menyembunyikannya di belakang punggungku, menunggu waktu yang tepat untuk mendarat pada kepala seorang lelaki yang semasa hidupnya mengoloknya hantu.
aku melihat hantu pada puisi-puisimu. Aku tertarik. Karena hantu itu sebelumnya adalah kekasihku.
This entry was posted in

Monday 2 February 2015

Secangkir Cerita Americano


…saat pertama kali kita berbincang pada hujan malam itu, aku tahu, kamu adalah orang terakhir yang akan kubisikan perihal cinta. Lantas kamu bertanya mengapa, dan aku menuliskan kisah ini untukmu.
Perempuan itu mengenakan dress merah marun dengan mafela batik hitam yang melingkari lehernya. Sejak langit senja runtuh, ia sudah mengambil duduk di teras kafe yang berpayung terbuka. Ketika pelayan berbaju dress cokelat berenda itu menghampiri mejanya, tanpa membuka buku menu, perempuan itu tersenyum dan berbisik kecil; americanno. Ia selalu memesan secangkir kopi yang sama, yang pada akhirnya akan ia tinggalkan tanpa pernah menyesapnya sekalipun. Tapi hari itu, ia berniat tak akan beranjak; karena ada rasa yang kali ini tak henti menanjak. Dan ia meminta pada si pelayan kafe untuk menutup payung yang terbuka. Tepat ketika payung itu ditutupnya, hujan seakan tergelitik untuk bertingkah. Perempuan itu basah dan tak jua mau melangkah.
“Silakan pindah ke dalam ruang kafe, akan kami sediakan secangkir americano hangat lagi.”
Perempuan itu menggeleng. Senyum kecilnya melengkung di bibirnya yang memutih karena gigil. Tiap pasang mata, yang menempel di kaca jendela besar dalam ruang kafe mengikuti gerak si perempuan yang lebih banyak diam. Lalu lalang orang-orang dan kendaraan yang melintas, sesekali berhenti sejenak, menawarkan sepayung teduh atau tumpangan dengan perlindungan penuh. Tapi ia menggeleng, ada yang ia tunggu, bisiknya di sela-sela dingin yang mencari rumah di tubuh mungilnya. Bahkan ketika hujan melebat dan bujukan-bujukan itu juga menderas, lalu malam terus merangkak, perempuan bermafela batik itu tetap tinggal.
Di antara ramai pasang mata dan riuh perbincangan akan perempuan yang terus menunggu, ada seorang lelaki berpayung hitam yang berdiri di balik bangunan kafe. Manik mata cokelatnya berhenti pada senyum samar milik si perempuan. Ia masih ingat pesan singkat yang dikirimnya seminggu lalu; americano untuk kita berdua. Dan, ia juga tak lupa sebuah surat yang diterima setelahnya; inisial nama seorang lelaki lain dan perempuan itu dalam surat undangan, yang harusnya ia hadiri dan perempuan itu tepati. Diam-diam, mereka berdua hanya menitipkan bisik di antara rinai hujan yang merintik di atas kepul hangat americano; karena hati ini menunggu seseorang lain, kamu 
...dan secangkir janji kita di caffe americano.
…karena biasanya kisah itu dimulai tepat ketika kita merasa segalanya telah berakhir. Padamu.
This entry was posted in