Saturday 29 August 2015

Tentang Pesan Singkat 'Apa Kabar, Aku Rindu'


Sekitar petang tiga hari lalu, aku duduk termangu di ruang tengah rumahku seraya membolak-balik album kenangan yang memuat sejumlah potretku bersama kawan-kawanku – beragam momen, mulai dari mengerjakan proyek berbarengan, bertingkah konyol tidak jelas, atau hanya keisengan berswafoto. Lalu, manik mataku berhenti pada salah satu foto sahabatku, matanya yang berbiji hitam penuh – yang kalau berdiri di bawah remang lampu kota di tepi jalan atau langit berpayungkan berkas cahaya purnama, aku yakin kedua matanya akan terlihat bersinar. Mata khas itu mengantarku pada seseorang, ia yang dulunya – aku merasa begitu tersiksa ketika mengatakan ‘dulu’, karena itu berarti sudah lewat setahun lamanya dan segalanya berarti sepia – duduk di sebelahku pada suatu bangku kelas, yang kebiasaannya menggambar kerap membuatku kagum dan bergumam suatu waktu nanti bakatnya akan membawanya menjadi desainer atau ilustrator, yang cantiknya sering kubilang mirip nona-nona berkelas, yang pribadinya tenang (tapi bisa meledak kapan saja), yang punya tulisan tangan sangat rapi (aku ingat, ia sering memakai tinta pulpen warna biru), yang bertanya apakah koleksi boneka Santa Claus-ku bertambah, dan ia adalah kawan sebangku – seperjuangan – ketika aku masih mengenakan rok abu-abu, yang kupanggil Claudie. 
Aku terpekur. Rasanya sudah benar-benar lama sekali – dan mengerikannya, aku hampir melupakannya; baru kusadari, mungkin karena tak pernah lagi kutemukan namanya muncul di antara desakan notifikasi atau beranda media sosial. Sore itu juga, aku mencari kontaknya – tetap tak kutemukan, kecuali histori chatku dengannya yang tercatat Natal setahun lalu. Aku membaca ulang pesan singkatku bersamanya yang saling mengucapkan selamat dalam kasih Kristus, hanya itu; satu tahun lalu. Dua tahun lalu dan yang dulu-dulu, kita bertukar pesan tentang tanggung jawab di redaksi majalah sekolah yang masih ‘hijau’.
Kala itu kita bergandengan sebagai rekan kerja yang kompak, aku menulis, ia menggambar – aku mengarahakan, ia mendesain – aku menyerocos, ia mengilustrasi – aku menyusun kata, ia mengutak-atik garis. Kenangan tentangnya menerobos kepalaku tanpa henti, dan aku seperti terkunci. Benakku membongkar lagi ingatan bertahun-tahun lalu, saat ia berusaha menenangkan aku tiap aku gagal dan menangis di pelajaran Kimia, saat kita berdua bangga tergabung dalam kelas unggulan dengan barisan kedua dari depan yang diduduki oleh lima juara besar yang kita adalah di dalamnya, saat ia meminta buku harianku untuk ia tambahkan coretan gambarnya, saat pertama kali kita bertemu dan ia mengajakku membeli sekotak nasi putih ayam krispi (ingatkah ia, ini adalah hari pertama masuk sekolah dan aku tidak membawa cukup uang jajan, dan ia bilang tak masalah, kita makan bersama di bangku kantin yang letaknya di depan lapangan basket), saat ia harus direpotkan oleh senior yang katanya menyukaiku (dan ia punya segudang fans yang meliriknya tiap ia berjalan di lorong kelas), dan saat aku menangis menulis ini semua.
Kadang kali, waktu bisa begitu berbaik hati membuatmu lupa pada potong peristiwa buruk di masa lampau, tapi ia juga mampu sangat kejam menjadikanmu merindukan kenang-kenang yang manisnya begitu ranum, yang tak bisa kembali lagi.
Jingga kemerahan yang masih menyisa di langit sore, bersama dersiknya yang berlari-lari di antara celah jendela yang kacanya buram, dalam senyap seperti ini; aku mengontaknya lewat chat terakhir itu – berharap media sosialnya masih aktif, sekiranya ada rindu yang ingin kukabarkan padanya dari sini, bahwa aku tak ingin sibuk menggerogotiku hingga melupakan bila sesungguhnya yang berharga bukanlah tenggat-tenggat waktu tugasku yang tak kunjung usai, pertemuan bersama rekan-rekan tim, hingga bincang-obrol proyek-proyek, melainkan sapaan singkat yang mampir di ruang obrol ponsel yang pesannya sederhana; apa kabar, aku rindu.
Untukmu – yang akhirnya bisa kuhubungi kembali, kawanku yang sedang ditimbun kesibukan kuliahnya, Claudia Anwar – yang kupanggil akrab Claudie. Semoga ada kesempatan yang mempertemukan kita untuk merajut kenangan lainnya. 

Lewat tulisan ini – dan kebetulan ini Sabtu, aku ingin mengucapkan selamat berakhir pekan, semoga kita tidak dikurung tenggat waktu dan gunungan pekerjaan – aku juga ingin mengirimkan peluk rindu kepada sahabat dekatku Mila Mareta, yang siang ini mengontakku untuk sekadar bilang; ‘Ver, jangan lupa makan dan banyak makan buah’ karena mengetahui minggu ini tugasku menumpuk, serta kelindan kenang atas tulisan ini yang mengingatkanku pada Gabriella Moureen Naomi, yang kusebut Alien karena keakraban kita, yang pernah secara mengagetkan menulis teks singkat untukku ‘Ver, istirahat, jangan kebanyakan minum teh’ dan lainnya. Pada mereka, aku menemukan bahwa cinta bekerja dengan cara manis yang begitu mengejutkan.

Sunday 23 August 2015

Catatan Panjang tentang Apa yang Mereka Sebut Cinta


Aku tak pernah bercerita panjang lebar tentang hal-hal seperti ini – tapi ini malam Minggu, baiklah katakan saja ini Sabtu malam; dan topik ini kerap mengusikku. Lantaran tiap malam-malam seperti inilah, risau hati melayap ke mana-mana. Dan, sesungguhnya ada cita-cita yang lebih penting menunggu kita untuk berupaya.
Dulu, seorang teman pernah datang padaku dan menyindirku dengan kata ‘kuper’ (baca: kurang pergaulan). Ini mungkin terjadi karena sepanjang hari di sekolah yang dilihatnya adalah aku membawa buku RPUL (rangkuman pengetahuan umum lengkap) ke mana-mana, saat itu aku ingat – aku mempelajari nama-nama ibu kota, serta masih mencoba mengenali kepulauan Indonesia dari peta.
Selanjutnya, ia jumpalitan dari satu kelompok ke kelompok lain membincangkan perihal cinta – yang kala itu, sedang tren hal-hal seperti: kalau-elo-pacaran, berarti-elo-sudah-dewasa. Percayalah, aku sangat kesal – dan ingin membalaskan dendam kesumat ala anak-anak; bisakah kita lupakan saja kalimat yang ini? Menit itu juga, aku bertanya padanya di mana ibu kota Peru, dan memintanya menunjukkan padaku letak pulau Jawa di peta. Ia hanya diam, menggeleng tidak tahu – lalu mengapa kamu tidak menarik lengan lelakimu ke hadapanku untuk menjawabnya?  
Aku terdiam – jadi siapa yang kuper sekarang (?) – aku seperti melihat seorang penggemar fanatik sepak bola tapi tidak bisa menjelaskan apa itu offside.
Dan beberapa bulan lalu saat aku menaiki angkutan umum, aku mencuri dengar percakapan siswi SMP – mereka membahas tentang kriteria suami masa depan; ingin yang humoris, pengertian, dan lain-lain. Saat itu, ingin sekali aku melepas masker penutup hidungku dan menceritakan seuntai kisahku pada mereka seperti ini:
“Aku pernah bertemu lelaki yang kuajak mengobrol tentang bagaimana pemanasan global semakin terdengar mengerikan, dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, lalu lelaki itu menjawab seperti; aku tidak peduli, yang hanya aku pikirkan adalah kita.”
“Bagaimana kamu bisa tidak peduli? Munculnya tren Post-Apocalypse yang diangkat menjadi tema berbagi karya fiksi, bukanlah sekadar khayalan semata dan imajinasi biasa dari para seniman. Keterjebakan sebuah kehidupan di antara distopia dan utopia yang tergambar dalam karya teranyar Lois Lowry, The Giver, bukan main-main. Ironi mesin otomat hijau yang dicontohkan Gaarder dalam karya barunya, Dunia Anna bukanlah lelucon. Ini berangkat dari kegelisahan dunia mengenai Bumi yang semakin menua, dan tingkah manusia yang lupa di mana sesungguhnya ia berumah. Kalau pemanasan global benar-benar memakan habis Bumi, coba katakan padaku di mana kamu akan mengajakku berkencan?”
“Akan kubawa kita ke ujung dunia, yang hanya kita berdua, kita bisa ke Mars.”
“Kebetulan pendaftaran untuk menghuni Mars sudah dibuka, mengapa tidak kamu saja bergabung untuk memastikan adanya air dan oksigen yang cukup bagi kita?”
Baiklah lelaki itu terdiam, dan aku masih belum selesai bicara.
 “Nilai tukar rupiah melemah, dampak yang sangat terasa adalah meningkatnya harga bahan baku yang kita impor. Apa artinya kalau bahan baku naik? Bahan-bahan lain yang memanfaatkan bahan dasar terseut akan ikut naik. Terjadi inflasi, ujung-ujungnya rakyat yang juga adalah kita berdua – kamu dan aku, ikut terkena. Kalau sudah begitu, coba jelaskan padaku pengeluaran kita yang akan meningkat tiap kali jalan untuk makan dan menonton bersama? Masalah rupiah memiliki dampak kontinu dan domino yang sangat besar, lalu kamu masih berpikir untuk hidup dengan makan cinta.”
Aku berharap mereka paham jika kamu tak bisa mendapatkan Pangeran William hanya dengan terus memikirkannya dan menggalaukannya, kamu harus menjadi seorang Kate Middleton untuk itu. Saat menulis novel Shooting Star, aku menolak ajakan kawan-kawanku untuk menonton film keluaran terbaru di akhir pekan, karena aku tahu ada naskah yang memanggil-manggilku, dan aku punya impian yang sempat diremehkan untuk kuraih. Ketika menulis artikel feature mengenai MEA yang memenangi juara dua menulis  feature antar-universitas, aku meredam godaan status-status media sosial yang memamerkan kemesraan jalan berdua dengan sepasang kekasih. Dan lain-lainnya, yang karenanya aku kerap dianggap akan menjadi jomlo sejati. Tapi aku memahami; aku menolak pesta hari ini, karena aku akan memiliki pesta yang ditujukan untuk merayakanku nanti.
Aku rasa kita hanya lupa pada kisah sejati Cinderella, ia tidak pernah berharap ada pangeran melawan naga yang akan meminangnya ke istana lewat sepatu kaca, ia hanya fokus pada kebaikan hatinya dan keajaiban itu datang dengan sendirinya. Izinkan aku meminjam sebaris kutipan teramat sederhana dari Mario Teguh yang mengatakan bahwa cinta yang berkualitas datang pada ia yang berusaha meningkatkan kualitas diri.  Kawan, Kitab Penyatuan Jodoh itu ada, dan Tuhan memegangnya sekarang – kita tak perlu takut, kisah kita akan ditulis Tuhan dan itu lebih sempurna dibanding yang dikarang oleh manusia.
Aku – kita – pasti setuju, tak ingin menghabiskan waktu kita – yang merupakan investasi sangat berharga yang kita punya – hanya untuk mengkhawatirkan ‘mengapa dia enggak balas chat gue ya?’. ‘sialan, kok cuma di-read doang sih?’, ‘duh, dia pasti lagi jalan sama cewek lain dan gue dilupain’, ‘kok dia engga ajak gue jalan ya?’, ‘udah makan belum, Ndut?’, ‘kamu tidur duluan deh, Cayank’, ‘jemput dong!’ dan sebagai-sebagainya. Kita butuh memahami – dan seseorang yang mengerti – bahwa mengejar mimpi bukan berarti tidak akan menikah serta meninggalkan cinta, melainkan berusaha menghidupi cinta itu sendiri.
“Bagaimana kita bisa memastikan ia yang mengklaim dirinya cinta sejati itu tidak main-main? Serta yang mudahnya mengajak kamu tidur itu tidak menganggap seks sebagai olahraga favoritnya? Ada hal-hal lebih besar dari sekadar perkara hati yang tak kunjung mendapat tambatan dan diancami perawan-perjaka tua.”
Lalu, air mata yang kerap diturunkan untuk seseorang yang terkadang kita anggap adalah yang lahir untuk mencintai kita (padahal belum tentu iya, karena kita menilainya masih dengan kaca mata merah muda; belum sepenuhnya imbang) – sesungguhnya itu tetes-tetes yang lebih dibutuhkan bagi mereka yang menjadi korban bom Bangkok, tragedi Trigana Air, pengungsi Rohingya, dan berbagai hal lainnya. Air matamu sangat berharga dan bisa disulap jadi bulir doa untuk mereka, ketimbang tumpah untuk ia yang tidak memahami seberapa besar kesedihan menawanmu atas cinta ia yang setengah-setengah.
Apakah kamu percaya padaku– jika cinta tidak datang terlalu cepat atau terlambat, ia akan memelukmu tepat pada waktunya. So, if everything has already written, why we worry?
Dan, cinta yang dewasa adalah yang tidak berpikir dunia hanya milik kita berdua. Ada Tuhan, keluarga, dan sahabat yang mengajarkan kita sejatinya cinta hingga kita mampu mencintai seseorang. Jangan pula kita katakan, kita tidak akan bisa hidup bahagia tanpa si dia. Hey, sebelum ‘si dia’ datang, apakah kamu tak pernah sekalipun bahagia dalam hidupmu? Ketika kamu dibelikan mainan favorit, bolos bersama teman sepermainanmu, dan doa-doa yang dikabulkan Tuhan?
“Ver, tapi kamu sering ngegalau tuh!”
“Hehehe, itu sih memang hobi dan kerjaanku.” (aku pun ditabok ramai-ramai)
Sssst, sesungguhnya prinsip aku sangat sederhana; cinta ditolak, karya bertindak. Galau berkicau, karya menghalau.
Dan satu lagi, aku mencintaimu. Semoga kita akan bertemu dan terikat dalam cinta yang hakiki, yang beriman pada kasih sayang, yang hangatnya bagai rumah.

This entry was posted in

Saturday 22 August 2015

Pelajaran Tentang Cara Melupakan (Aku) dengan Baik dan Benar


“And, i feel you forget me like i used to feel you breathe.” – Swift, Taylor
Sudah episode ke empat, aku akan bertanya hal yang sering kubisikan padamu; apakah sudah bosan, lelah, atau mungkin muak? Kamu selalu punya kesempatan untuk mencaci-makiku, memukulku, meninjuku, atau menghajarku karenanya. Tapi aku berani bertaruh itu tidak menyelesaikan masalah, aku menawarkan pilihan lain; kamu bisa mencoba melupakanku, seperti yang mungkin sempat terlintas di benakmu. Kalau begitu, bisa aku membantumu?
 Salah seorang sahabat jauhku pernah mengatakan, kita tidak pernah bisa benar-benar melupakan seseorang, kecuali ada benturan keras atau kecelakaan parah yang menyebabkan otak kita kehilangan ingatannya. Cara terbaik adalah bukan melupakan, tapi merelakan; yang berarti pelan-pelan melepaskan dan menerima jika aku hanya membuatmu lelah, dan menambah masalah.
“When i try to forget you, i just keep on remembering.”’ – Lavigne, Avril Ramona
Ada lagi, seniorku datang padaku dan bercerita ihwal melupakan. Pendapatnya sama, kita tidak mungkin bisa menghilangkan atau melenyapkan seseorang dari ingatan kita. Bahkan, orang yang sepintas lewat saja – semisal perempuan cantik nan menarik yang tak kita kenal – bisa kita ingat terus-menerus, bagaimana dengan orang yang setidaknya pernah menjadi bagian dari hidup kita? Saran yang ia berikan adalah, meletakkan seseorang yang ingin kita lupakan di bagian ruang hati kita yang lain. Biliknya ditutup, kuncinya dibuang. Biarkan saja orang itu beserta seluruh kenangannya tersimpan rapi di sana, menahun, dan izinkan waktu yang perlahan menghapusnya. Karena, perihal melupakan bukanlah benar-benar tidak ingat lagi memori tentang seseorang itu. Kita tetap menjaganya, hanya saja itu tidak lagi mempengaruhi perasaan kita.
Apakah masih tidak berhasil? Biar kuuraikan lewat salah satu teori psikologi mengenai melupakan. Kamu tidak bisa fokus pada seseorang itu saat sedang ingin melupakan, yang harus kamu perhatikan adalah dirimu sendiri. Sebab ini tentang menyembuhkan diri dari orang yang hanya menyakiti dan membebanimu seperti aku padamu. Atau, kamu bisa mencoba melupakan jika kamu tengah melupakan itu sendiri.
Selamat melupakan aku, semoga berhasil – walau sesungguhnya, ketiganya pernah kulakukan dan sama sekali tidak mendatangkan hasil yang berarti, kecuali keadaan seperti; berkali-kali aku mencoba melupakanmu, adalah sesering itu juga aku kembali ditarik padamu. Mungkin alasannya akan terdengar manis; karena kamu terlalu istimewa untuk dilupakan – sebab jika ini kesalahan dan ilusi, aku akan menjawab, ini kesalahan terbaik dan ilusi terindah yang pernah kulakukan.
Dari perempuan yang sedang berusaha menepati janji untuk tidak berubah.

Dongeng-dongeng yang Mati


Ada sepotong lagu cinta yang bermain di waktu menjelang tengah malam, aku berpikir itu tengah menertawakan kita yang seperti ia; lantunannya manis, tapi hanya sementara. Aku gemetar, mengaku kalah oleh langkah awal kenangan. Lalu, tatapanku membentur dinding yang di atasnya tergantung secarik robekan kertas kecil, isinya adalah tulisan tanganku yang sederhana berspidol hitam; ‘...kamu adalah yang menjelma bayang pada malam aku memejamkan mata, dan yang teringat ketika pagi aku terjaga’. Rasanya dadaku menyeri, membawaku pada tiap tarikan nafas yang penuh sesak. Kamu pernah bilang padaku, memori kita terlampau singkat – mungkin itu menjelaskan bahwa ia tidak terlalu kuat untuk mengantarmu mengingatku. Sedang aku di sini, masih saja dungu merasakan ini semua terlalu nyata. Sampai perlahan-lahan selama empat puluh empat hari, semesta menampakkan padaku, menyimpan luka akanmu secara sembunyi-sembunyi ternyata lebih menyakiti dibanding mencintaimu diam-diam.
 Jika kamu ingin tahu hasilnya memendam rindu yang akhirnya membangkaikan diri jadi kubang darah, aku akan memberitahumu. Kira-kira seperti ini muaranya; aku jadi orang yang berbeda. Dongeng-dongengku mati, cerita-ceritaku terlalu lama menunggumu di penghujung malam untuk dikisahkan bersama segelas susu cokelat dan taburan gemintang rekata, hingga ia lama-lama terbunuh karena tak kunjung tidur walau diserang kantuk. Dan kamu tak pernaah datang. Semenjak itu, aku tak lagi mendongeng, aktivitas itu berganti jadi agenda menenangkan risau hati yang menangis sendiri. Kubiarkan juga boneka-boneka berjenggot yang kerap kupeluk sepanjang hari untuk menemani khayalan-khayalanku, teronggok di sudut kasur dimakan dinginnya laluan waktu. Kamu berhasil membunuh anak kecil (yang selama ini kujaga dan kupelihara) dalam diriku, terima kasih. Kemudian, aku menyingkirkan note-note berbagai warna koleksiku yang tercecer di meja belajarku yang bak kapal pecah. Aku berhenti menulis ungkapan singkat atau puisi kecil, aku sengaja menerima sejumlah proyek kepenulisan lain yang menyita waktuku agar bisa menghindari bayanganmu yang jadi hantu. Lain-lain, aku tidak juga lagi tergantung pada es krim untuk bahagia, pada langit yang berganti-ganti cuaca untuk menitipkan rindu, pada buku-buku tua seriusku untuk membunuh waktu. Aku telah berubah, mereka bilang aku mati rasa – mungkin karena terlalu banyak lebam yang sudah membiru serta luka basah yang tak hendak mengering, aku remuk dan tak lagi benar-benar hidup. Aku menggeleng padanya seraya tersenyum letih, tak ada hal membahayakan yang terjadi padaku kecuali ... aku sudah lupa caranya mencintai.
Diikuti aku yang tak paham lagi caranya tersenyum lepas dan bahagia bebas. Aku hanya berjalan dihidupi tenggat-tenggat waktu proyekku, serta bergerak oleh tegakan warna-warni rasa obatku.
Lagi-lagi, mereka kerap menudingku putus asa. Sekali kukatakan, aku hanya sedang terluka begitu dalam, setidaknya itu menunjukkan betapa aku sudah berusaha melakukan hal terbaik yang bisa kuperbuat terhadap perasaan; mencintaimu seutuhnya. Dan, aku percaya, air mata yang jatuh tak pernah sia-sia.
“...kamu tak harus banyak bergerak, sewajarnya kamu dicintai bukan mencintai.”
“...jika kamu pernah bilang rasa ini adalah puisi, berarti ia kemungkinan terbakar di tiap halamannya. Kamu akan terbunuh jika tidak cepat-cepat menyelamatkan diri.”
Ah, apa lagi kira-kira yang mereka sarankan padaku – dan aku hampir menganggapnya bagai hiasan angin lalu. Sebab, sejak awal aku sudah memulai prolog kisah kita dengan kalimat; ‘...seperti inilah cara cinta bekerja; berteman akrab dengan luka’.Aku berharap suatu saat nanti akan sembuh.
Dari perempuan yang sesungguhnya masih bersembunyi pada salah satu bintang yang tertinggal di pucatnya langit malam ini.