Wednesday 26 December 2012

Last Fall : Goresan Hujan



Some feel the rain, some others just got wet . -Bob Marley-
“Gemuruh guntur adalah suara gundah hati yang menanti tanpa ada yang pasti. Langit mendung kelabu adalah kegalauan hati. Terkadang, langit mendung bergetar menahan tangis, berusaha membendung air agar tetap terpatri. Maka, sering kali kita ketahui, mendung adalah luka hati yang sunyi. Kilat-kilat petir menjadi bukti bahwa langit mendung yang terlalu lama terperangkap dalam sepi, telah memanggil rintik-rintik untuk segera membentuk tirai air dan pasukan air yang memukul-mukul Bumi. Hujan pun memain-mainkan hati tanpa henti, ia memasukkan badai angin, menyentuh kenangan nurani dan kerap kali membiaskan mimpi-mimpi. Ini semua hanyalah tentang kamu dan aku yang tak lagi merangkai pelangi.”

Now, it’s raining more than ever, you can stand under my umbrella. -Rihanna-
“Bulir air hujan ialah satuan waktu semu yang kutunggu dengan pengharapan palsu. Desir angin dingin milik hujan ialah berkas-berkas pelukanmu yang semakin membekukan hati yang biru. Bulir-bulir air hujan itu kadang kala menipu, menawarkan sejuk yang sesungguhnya menusuk dalam kalbu. Sebab, tak ada lagi rindu yang membuatku mengharu.  Karena kamu semakin jauh berlalu. Yang tertinggal hanyalah aku yang dengan lugu masih terpaku, menunggumu dalam kelu, walau aku tahu, sesungguhnya tak ada lagi apa pun kecuali langit abu-abu.”

Its gonna rain for years and years. -Secondhand Serenade-                           
“Gerimis adalah dialog antara hujan dan Bumi, tentang apakah rintik hujan akan terus jatuh ataukah tiada. Ini seperti dialog antara kamu dan aku, tentang apakah kita akan saling menyelipkan cinta, ataukah mengatakan bahwa kebersamaan memang bukan milik kita. Sisa air hujan di dedaunan seolah menertawakan kita berdua, karena tak ada lagi guna untuk saling bersua dan membentuk asa. Sebab, sisa air hujan yang goyah itu ada karena ditinggalkan oleh hujan yang lenyap, sama seperti kita, yang ditinggalkan cinta. Hanya membekas luka. Hujan hanya sementara, namun, sesungguhnya ia selalu ada. Kamu dan hujan itu sama, hanyalah kunjungan singkat tanpa cinta yang benar-benar singgah dan nyata. Aku lelah berkata-kata, kini, biarlah sajak-sajak hujan itu yang bercerita.”
  
Untuk siapapun yang menunggu seseorang saat hujan reda.
Dan, untuk kamu pecinta teh, maafkan aku karena telah mencintaimu .

Sunday 23 December 2012

Fall...(15) : The Story Of Us



I used to think one day we’d tell the story of us. How we met and the sparks flew instantly…  
Suatu waktu, aku menemukan lagu yang melantunkan kisah kita. Cerita tentang kita. Tentang bagaimana aku berpikir untuk menuliskan rasa yang pernah ada, yang kemudian harus lenyap sebelum sempat aku mengatakan rasa itu cinta. Maka, episode Fall ini tercipta. ‘Tuk kubiarkan ia bercerita tentang kita.
I used to know my spot was next to you, now I’m searching the room for an empty seat…
Maka, kisah ini dimulai. Saat aku berjalan memasuki ruang kelas, aku mencari bangku kosong. Mungkin banyak bangku kosong yang menungguku untuk duduk, namun, aku tidak mencari bangku kosong semacam itu. Yang kucari adalah bangku kosong di sampingmu.
So many things that I wish you knew, so many walls up, I can’t break through…
Lalu, kita duduk di sebuah pertemuan penting. Kita duduk berhadapan. Dengan mudah aku bisa menikmati senyum bisu dan mata teduhmu, tapi, jarak singkat di antara kita seolah membentuk tembok besar yang sulit untuk kurangkak naik dan hancurkan karena banyak hal yang aku ingin kamu tahu, tentang aku yang bergetar ketika membisikkan namamu, tentang aku yang berpacu ketika menemukanmu, tentang banyak rasa yang bermain ketika melihatmu…namun kamu tak pernah tahu.
Now I’m standing alone in a crowded room and we’re not speaking…and I’m dying to know, is it killing you? Like it’s killing me.
Aku berdiri sendiri di sebuah ruang kelas ramai, dimana kamu ada di dalamnya dan hanya mencipta bisu untuk melawan keramaian, sedangkan aku terpaku, tersiksa lalu terbunuh oleh satu pertanyaan, mengapa kita tidak saling bertukar kata? Aku tidak pernah melihat diam yang sesempurna ini. I’ve never heard silence quite this loud.
See me nervously pulling at my clothes and trying to look busy, and you’re doing your best to avoid me…
Kamu pernah melihatku sibuk? Atau aku terlihat selalu sibuk di matamu? Karena aku tidak bisa hanya diam menemukanmu satu ruangan denganku dan kamu dengan sempurna menjadi patung manekin ketika sudut matamu mendapatiku.
I’m scared to see the ending. Why are we pretending this is nothing? I’d tell you I miss you, but, I don’t know how…
Ini cerita tentang kita dan aku takut menemui akhir cerita ini, yang akan menyapaku dan berkata bahwa kebersamaan bukan milik kita. Ingin sekali aku menyentakmu, mengapa kamu bisa berlaku seolah-olah semuanya tak ada apa-apa sedangkan kamu tahu aku tersiksa memikirkan cara bagaimana untuk mengatakan bahwa aku merindukan mata teduhmu setiap malam.
This is looking like a contest of who can act like they careless. The battle’s in your hands now, but I would lay my armor down if you’d say you’d rather love than fight.
Kita benar-benar seperti tengah berlomba siapakah yang mampu menahan rasa ini lebih lama. Tahukah kamu, menahannya hanya membuatku tertekan hingga merasa sesak? Pada akhirnya, pilihan untuk memilih ada padamu karena kapanpun aku akan lebih memilih cinta dibanding perang konyol ini. Namun, kamu memenangkan kontes. Tetap mempertahankan rasa bisu ini. Menahannya hingga aku hanya bisa membisikkan kata cinta saat jarak membuatmu tak mendengarnya.
And, the story of us looks a lot like tragedy now. The end.

Sebuah lagu milik Taylor Swift, The Story Of Us, yang menceritakan juga tentang kisah kita…

Wednesday 5 December 2012

Fall…(14) : Dialog Gerimis



“Cause, I love you, wether its wrong or right.” –Bedingfield, Daniel-
Aku duduk di ruang tengah dengan lantunan lagu dari radio malam yang masih menyala. Kulempar pandangan ke luar kaca jendela yang tak tertutupi gorden, ada gerimis di luar sana. Aku menutup buku bacaanku dengan sekali katupan dan beranjak ke luar sana. Aku akan berdialog dengan gerimis, sekali lagi tentangmu. Sebelum aku mengakhiri tulisan tentangmu di tulisan Last Fall. Selalu tentangmu, bukan tentang kita, karena ketahulah, kebersamaan dan cinta itu bukan milik kita berdua.
“Can we talk forever and have a thousand cup of tea?” –Chance, Greyson-
Pada gerimis, aku bercerita, aku ingin kamu tahu, sesugguhnya, aku sudah menyukai teh jauh sebelum aku mendapati diriku mencintaimu dan mengetahui kamu adalah pecinta teh. Aku menghabiskan tiga cangkir teh dalam sehari, teh hijau pahit hingga teh manis. Lalu, aku pun bertanya, apakah kamu teringat padaku saat hujan itu datang menyapa kaca jendela kamarmu seperti halnya aku mengingatmu setiap kali aku menemukan sceangkir teh hangat terletak di meja komputerku? Suara gerimis dengan rintik yang jatuh perlahan pada wajah Bumi menjawabnya dengan bisu.
“I don’t want to run away, but I can’t take it, I don’t understand.”
Sepotong kalimat dalam lagu If you’re not the one benar-benar meneriakkan apa yang selama ini menjadi dilemma. Sesungguhnya, aku tengah marah ketika menuliskan ini, mungkin pada diriku juga padamu. Pada diriku, seperti saat berdiri berhadapan denganmu, mendapatkan kedua manik mata yang aku tak mengerti mengapa begitu teduh itu, aku tahu aku tak bisa pergi darinya tapi aku juga tahu, aku tak mungkin bisa memilikinya. Padamu, seperti saat aku tahu kamu menjauhiku, aku ingin sekali berbisik padamu pelan, jangan menjauh, jika kamu ingin ada jarak yang jauh di antara kita, aku bisa menciptakannya, aku saja yang menciptakan jarak jauh itu, aku saja yang menjauh, jangan kamu, karena melihatmu menjauh adalah hal yang paling  menyiksa. Ini mengoyak.
“If I don’t need you, then why am I crying on my bed?”
Mungkin itu pertanyaan yang tepat. Ini entah malam ke berapa kuucapkan, aku tak membutuhkanmu, tapi berkali-kali aku selalu menemukan alasan untuk kembali membisikkan kata sederhana; aku mencintaimu. 

Thursday 29 November 2012

Fall...(13) : Sajak Hujan kepada Secangkir Teh



Kepada kamu, Pecinta Teh,
Ini dari seseorang yang selalu ingin menjadi hujan. Aku takkan menuliskan lagi mengenai sajak-sajak hujan, walau sajak-sajak itu indah dan selalu saja kutemukan kata-kata yang melukismu. Seperti, apakah kamu menunggu hujan reda atau menunggu seseorang saat hujan berhenti? Saat dihadapkan dalam bisik sajak milik penulis Reni Erina itu, aku dilemma, antara menjawab menunggu hujan ataukah kamu, karena aku pun terjebak ditengah rinai hujan, sebab hujan adalah kamu dan kamu adalah pelukis hujan. Tentang rinai, aku punya sajak yang lain lagi, kali ini milik penulis Skylashtar Maryam, yang mengatakan bahwa rinai hujan adalah detik-detik tunggu yang takkan tergerus oleh waktu. Dan, kamu tahu? Di rinai hujan itulah aku menemukanmu, dan aku baru tahu, itu sebabnya, rintik-rintik cinta yang tumpah ruah bersamaan dengan turunnya hujan itu tak pernah lenyap karena ia terlalu kuat untuk digerus waktu dan ditebas jarak.
Ini untukmu, Pecinta Teh. Apakah kamu lelah menerima sajak-sajak hujan yang kutulis untukmu? Sesungguhnya, aku pun lelah. Aku ingin saja berteriak, aku ingin tulisan ini berhenti karena tulisan dan sajak-sajak itu hanya bercerita tentang pesan-pesan tersembunyi dari hujan kepada secangkir teh hangat yang selalu saja mampu menyelimuti kedinginan yang ia buat agar menyeruak dari bulir-bulirnya. Namun, aku hanya bisa berteriak bahwa aku menyelipkan cinta pada kehangatan teh, ketika hujan benar-benar deras dan bisa mengalahkan suaraku. Aku tak ingin kamu mendengarnya, aku takut jika kamu tahu, kamu akan dingin seperti halnya teh hangat yang dicengkeram begitu lama di tengah hujan. Aku pun tak ingin kamu mengarungi samudra, menyebrangi lautan dan menakhlukkan pegunungan, aku hanya ingin kamu mengeja hujan.
Teh dan hujan. Mengapa aku memanggilmu teh? Mengapa aku menjadikan namamu menjadi aneh? Sederhana, karena secangkir teh selalu ditemukan menemani hujan. Dan, aku ingin kamu selalu kutemukan menemaniku, karena akulah hujan itu. 
Di kala hujan, saat rintik hujan jatuh ke Bumi dan saat aku jatuh padamu,
Dari seseorang yang selalu ingin menjadi hujan.

Monday 26 November 2012

Fall...(12)



How long till we call this love?
Aku takut tulisan ini tak akan pernah habis bercerita tentangmu. Aku takut, jika angka 15 terlewat dan tulisan tentangmu belum juga berhenti. Aku takut, itu berarti aku benar-benar mencintaimu.
Please, don’t stand so close to me, I have a trouble breathing. I’m afraid of what you’ll see.
Ini akhir minggu, dua hari aku tak bertemu denganmu. Terakhir kita bertemu, di hari Jumat, di sebuah bangku yang disusun seolah menjadi meja bundar dalam sebuah bahasan penting. Perhatianku terbagi, antara menentukan kemajuan tim-ku dan kamu. Logikaku bekerja keras agar tetap focus, dan hatiku tertekan begitu dalam karena harus berusaha menyembunyikanmu.
I will take that hurf of fall, if that fall is falling into you.
Aku gelisah, waktu semakin lama semakin merangkak naik dan berbisik padaku, kamu akan segera keluar dari diskusi alot ini, dan bukankah benar? Kamu mendorong jauh bangkumu, berjanji akan kembali. Aku tahu, tidak. Bisakah kamu cukup hadir di diskusi ini bukan karena jadwal yang mengharuskanmu, cukup karena aku ada? Harapan dan binarku seketika meluap pergi bersama kamu yang membuka pintu dan keluar.
I have waited you for a thousand years, but, I’ll love you for a thousand more.
Sesungguhnya, ini tulisan khusus untuk bercerita tentang tatapan manik matamu. Yang tak hanya teduh, yang memiliki binar menenangkan dan memikat. Tapi, aku tak tahu, tulisan kali ini justru bercerita tentang kamu yang lagi-lagi membuatku tersiksa. Terlebih itu, saat aku menulis ini, aku tahu kamu tengah tersenyum dan tertawa bersama mereka, kelompok mereka yang di dalamnya ada dia, satu-satunya orang yang mungkin menjadi alasan bagimu tidak menuliskan puisi untukku.