Thursday 29 January 2015

Sakit


Rasanya ada sejuta kunang-kunang yang hinggap di sepasang mata perempuan itu ketika ia terbangun dari tempat tidurnya; pada suatu pagi yang sakit. Tubuhnya teronggok di sudut kamar, wajahnya memucat pasi; seakan meminta darah untuk kepalanya. Ia ingat malam kemarin, ketika perempuan itu menemukan dirinya terkulai jatuh di atas sofa merah di ruang tengah. Radio malam menyala, mengicaukan berita-berita yang diulang dan lagu pengantar tidur. Volume rendah kicau radio berjalan seirama sunyi, yang diam-diam menelusup melewati sela-sela pintu rumahnya yang sudah tertutup rapat. Bau obat nyamuk bakar yang masih melingkar-lingkar, berhasil mengganggu penciuman perempuan itu. 
Perlahan, ia beringsut dari sofa kemerahan itu menuju ruang kamarnya. Merangkak pelan, sedangkan mata malam mengintai dari tiap kaca jendela yang lolos dari gorden. Tertawa keras, seolah meneriakan pada perempuan yang kehilangan secangkir kopinya hari itu, jika pada akhirnya ia akan menyerah dan tidak lagi menantang malam. Lihatlah tubuh kurusnya dipeluk udara dingin malam, bahkan mantel berlapis tiga yang kumal dan pudar warnanya itu tak menyelamatkan tubuhnya dari gigil.
Ia tidak tahu harus bagaimana menggambarkannya, penglihatannya kabur oleh kunang-kunang yang memenuhi matanya. Sedangkan setumpuk berkas kosong dan pena yang tergantung, berusaha memanggil-manggilnya untuk menyelesaikan suatu yang tertunda. Isi kepalanya meminta untuk menceritakan kebenaran; tentang kesehatannya akhir-akhir ini yang diperbincangkan tetangga-tetangganya sebagai kutukan. Sebenarnya, bukan. Aku tahu itu.
Maka, malam itu sebelum ia dipaksa lelap oleh malam yang menyakitinya, perempuan itu membisikan kisah ini padaku; tentang dirinya yang kehilangan banyak darah sehabis ia menguatkan diri sekali lagi, pergi menemui kekasihnya yang hanya bisa ia kunjungi saat pertengahan malam. Lalu mereka berkencan. Itu kencan yang tidak seperti kau kira, karena kekasih lelakinya adalah sosok yang menggantikan segelas vodka dengan sesloki darah.
Pagi ini aku menengok keadaan perempuan itu, ia tengah sarapan dengan semangkuk sup bayam. Dan, beberapa pil penambah darah menjadi camilan wajibnya. Ketika kawan-kawannya menengoknya dan berkata basa-basi seperti; ‘semoga cepat sembuh’, aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Perempuan itu hanya tersenyum ke arahku dengan penuh luka.
This entry was posted in

Monday 26 January 2015

Tidur dan Skenario Malam


Dulu – mungkin sampai hari ini, aku kerap menganggap jika tidur adalah salah satu cara malam menyembunyikan kejahatan yang dipunyainya. Malam membius orang-orang hingga terlelap, agar menjaga mereka tetap terpejam, malam pun menghadirkan mimpi-mimpi untuk menemani tidur – agar tidak membosankan, mengingat malam ingin orang-orang mati sejenak dalam waktu berjam-jam. Lalu, seseorang datang padaku, mengajakku untuk menantang malam; dengan terjaga dan mengintip apa yang malam sembunyikan selama ini.
“Kau bisa menghabisi malam dengan secangkir kopi.”
Begitu katanya. Lalu, kami pun menyusuri bahu jalan yang dihinggapi remang lampu kota; tempat malam biasanya bersarang. Dan, benar saja. Jika malam adalah waktunya tidur, malam sendiri tidak pernah tidur. Aku mendengar suara malam lewat teriakan melengking seorang perempuan di gang sempit. Aku melihat tubuh malam lewat beberapa tubuh pria paruh baya yang bergelung di pinggir pertokoan. Aku menyaksikan pergerakan malam lewat sebotol bir yang dituang di sebuah bar kafe. Aku merasakan denyut malam lewat sebuah bangunan gelap yang di dalamnya riuh oleh dentam musik dari piring yang diputar dan permainan gemerlap lampu. Banyak lagi.
Aku pun memutuskan untuk pulang. Bahkan, kompleks perumahanku, yang malam hadirkan sunyi dan hening sebagai musik pengantar tidur orang-orang, tak pernah benar-benar tidur. Aku mendengar ribut-ribut kecil dari sebuah rumah kecil yang lampunya hanya menyala satu. Lalu isak tangis dari jembatan antar-kompleks. Suara derik serangga malam dan rerumputan yang bergesek dicumbui angin, mengiringi tiap langkahku yang mulai bergegas. Seseorang itu tertawa. Wajahnya temaram oleh berkas cahaya purnama. Ia bilang, tak perlu takut.
“Kau bisa bertengkar sekaligus bercinta dengan malam lewat secangkir kopi.”
Seseorang itu bilang padaku, malam adalah rahasia, yang tak akan pernah aku tahu sebelum aku benar-benar terjaga. Tepat ketika seseorang itu ditelan semak-semak yang menghitam pada malam yang memekat, aku mendengar suara lain memanggilku kerasnya. Mataku seakan terbuka untuk kedua kalinya.
Aku bermimpi. Tadi itu adalah mimpi. Tapi, jika ia benar semuanya adalah mimpi, mengapa subuh ini aku melihat seseorang dalam mimpiku itu berdiri di seberang kompleks perumahanku. Tangannya melambai padaku sembari bibirnya bergerak seolah hendak menyampaikan sesuatu.
Kau baru saja melihat coreng-coreng di wajah malam. Malam malu, dan ia menidurkanmu begitu saja. Ingin menyergap malam sekali lagi? Terjagalah dengan secangkir kopi, aku akan datang, memandumu menjelajahi rahasia malam.
This entry was posted in

Sunday 25 January 2015

Catatan Luka dan Lelaki Bermata Sayu


Aku pernah berjanji, tidak akan lagi menulis tentang lelaki-lelaki yang sempat mampir ke kepalaku tiap aku terbangun di suatu pagi, atau sebelum lelap di sepenggal malam. Tapi, kali ini coba izinkan aku menuliskan kisah mengenai seorang lelaki, lagi. Hanya sebuah cerita; yang sesungguhnya sudah lama kusimpan, namun dalam tiap kesempatan sunyi, ia selalu mengusik. Karena ia berhasil mendefinisikan cinta dengan arti lain. Mungkin saja, cinta adalah metafora untuk luka masa lalu. Adalah ia, lelaki bermata sayu yang mengatakannya padaku.

Pertama kali – pada waktu-waktu yang sangat awal, aku bertemu dengannya ketika tubuhnya dilumuri malam. Ia duduk di sebuah ruangan penguji, mendengarkan penyampaian materiku. Lalu mengangguk-angguk sebelum akhirnya tersenyum, ia bilang, aku berhasil. Lambat akhirnya ingin kukatakan padanya, sejak itu, mataku tak pernah lepas darinya. Tiap kudapati sosok lelaki bertubuh mungil yang melumuri tubuhnya dengan malam, kaca mata cokelat tua yang membingkai mata sayunya dan langkah mantapnya, angin yang mendesau pun seakan membisikan namanya. Dan, malam melukis sosok bayangnya yang tersamar. Lantas, tanpa kutahu, kita bertemu lagi – awalnya aku tak mengenalinya, karena ia sudah menanggalkan seluruh perkamen malam di tubuhnya, berganti menjadi jaket berumput tua.
Cerita ini dengan mudah berakhir tepat seperti tatap sayu matamu. Cerita ini tepat berada di ujung, sayu dan tidak tumbuh. Karena kita bertemu, untuk tahu jika ia adalah kenangan yang tak akan pernah dibuat dan angan yang tak mungkin disentuh. Mungkin saja, cinta adalah sebutan lain untuk kesendirian yang menuai luka. Sejak awal, aku tahu, kisah ini berakhir tepat ketika ia dimulai. Karena aku melihat luka pada rasa yang bersikeras menyebut dirinya cinta.
Maka inilah aku yang teronggok di waktu menjelang larut malam, mengintip purnama yang sembunyi di balik awan hitam. Teringat sekali lagi tentangnya – ia mungkin tak akan pernah tahu, ada seorang perempuan yang pernah ia uji di sebuah ruang yang asing, dan perempuan itu diam-diam menyimpan segenggam matahari di antara hujan; untuknya. Mungkin saja, cinta adalah frasa untuk rasa yang tumbuh di antara luka.
Untuknya, seorang lelaki yang bahkan tak menyadari jika ia punya tatap sayu, yang membuatku ingin membungkus pulang matanya.
This entry was posted in

Tentang Nyamuk dan Kisah yang Lapuk


Rein, malam itu kamu bilang padaku, ingin mendengar sajak tentang nyamuk. Kukira, itu karena kamu baru saja usai menuntaskan Dewi Lestari dengan Rectoverso-nya. Di sana ada perkara cecak dan nyamuk. Tentang cecak yang diam-diam merayap dan ‘hap!’, nyamuk terperangkap selamanya. Itu pengorbanan yang utuh. Tapi, kurasa kamu ingin mendengar sajak yang lain. Aku hanya takut jika larik dalam tiap bait ini nantinya mengisahkan cerita yang berbeda, dan apa pun yang tersisa tentang kita akan melapuk.

seekor nyamuk seusai hujan. kesendiriannya mengeja tanya
apa hujan tadi menyesatkannya. atau ia diam-diam mengintai kita
karena itu nyamuk yang sama, yang menggigitku dengan probosisnya
tepat ketika kamu menyarangkan mata
sejak itu, bukan hanya liurnya yang ada di tubuhku
tapi juga bayangmu yang meningkahi ruang kepalaku
seperti gelayut gelisah larva nyamuk yang ingin segera tumbuh

seekor nyamuk seusai hujan. rapuhnya meresahkanku
kita berdua tahu, nyamuk itu akan mati dalam beberapa hari lagi
ingin kubertanya, kemana lagi kita akan berlabuh
sedang puisi yang membuat kita berbincang adalah tentang nyamuk
tahukah kamu, dinding yang terbentuk justru mengundang peluk

seekor nyamuk yang usai dalam hujan. bangkainya rusak bergumpal bersama darah
kamu adalah hujan yang menyesatkan dan pelan-pelan membunuh nyamuk
hujan yang sama, yang menahan rasaku untuk tidak sembarang meliuk; padahal ini tentang kamu
namun, kamu biarkan kisah kita mati bersama nyamuk
dan melapuk

Kali ini, biar kubisikan sesuatu. Apa kamu tahu, ketika hujan, nyamuk selalu berusaha bertahan hidup. Karena rerintik hujan mampu memperlambat laju terbang nyamuk. Tapi, ia tetap berusaha hidup dan hujan tetap turun. Kamu adalah keduanya, Rein. Kamu hujan yang teduh dan nyamuk yang tangguh. Tapi, untukku, kamu ialah hujan yang menggelisahkan kenanganku dan nyamuk yang diamnya membunuhku. Lagi-lagi, ini untuk seseorang yang meminang hujan dalam namanya, Rhein Mahatma.

Thursday 22 January 2015

(Advertorial) Menghalau Galau Bersama GalauWithUs.com

Hujan menderas di luar sana. Rerintiknya bagai undangan untuk menggalau ria. Lalu, mendadak kita seakan tersulap menjadi pujangga. Kata demi kata terangkai, membentuk kalimat, membentuk puisi dan bermuara sebuah tulisan utuh. Ujung-ujungnya hanya satu; menyuarakan galau. Setelah kamu baca lagi, rasanya kalimat-kalimat yang sudah terangkai itu ingin kamu cetak. Kegalauan lainnya muncul, cetak dimana? Di hati mantan? Tidak mungkin. Di hati gebetan? Tolong deh. Kalau gitu, cetak di GalauWithUs.com saja. Mencetak kegalauanmu dalam sepotong kaus remaja berharga murah. GalauWithUs.com tak hanya mendengar gelisah dan resah kata hatimu saja, tapi juga panggilan dompetmu. Brand yang menyediakan grosir kaus murah, grosir kaus remaja, serta kaus remaja yang ngetrend di tahun 2015: shout out tshirt, speak up your heart words!

Tak hanya menjual quote-quote kegalauan yang tercetak sempurna dalam sepotong kaus remaja, GalauWithUs.com juga akan menemani kegalauanmu. Kami senantiasa menghadirkan quote-quote penyembuh galau di akun instagram dan fanpagefacebook kami. Jadi, GalauWithUs.com, tak hanya pusat grosir baju online murah buat para remaja galau, dan yang terkurung masa lalu dan gak bisa move on, kami bisa menjadi sahabat dan pundakmu! Ditemani oleh admin-admin kece. Silakan cek galeri koleksi kami di galauwithus.com, lalu segera chat personal ke admin galauws, yang langsung sigap menmapung kegalauanmu dalam sepotong kaos murah yang menyuarakan suara hatimu.

Its definitely raining,

Speak Up Your Restless, Shout Your Heart Words Out.

Saturday 17 January 2015

Perihal Gelap dan Lentera yang Menyala Di belakang Rumah


Jarang sekali aku menghabiskan waktu di tanah belakang rumahku. Padahal, senja yang jatuh di sana tiap sorenya, selalu tampak indah. Ada pepohonan lebat yang tumbuh di sana, tiap jingga menggurat, burung-burung kecil hinggap di dahan pohon, terbang ke sana-sini. Kabel-kabel listrik dan antena yang terpancang di atap-atap rumah, terlihat jelas dari belakang rumahku. Itu pemandangan sederhana yang teduh. Tapi, karena suatu hal, aku jarang mengunjungi tanah belakang rumahku.
Sekitar seminggu yang lalu, sekelompok pemuda dan Pak RT beramai-ramai menancapkan sebuah lampu temaram berpendar oranye di balik tembok yang membatasi tanah belakang rumahku dengan kompleks perumahan di belakangnya. Lampu itu mirip lentera. Cahayanya berdenyar hingga memenuhi halaman belakang rumahku, menimbulkan keremangan yang tidak aku suka.
Lewat bisik-bisik yang dimainkan angin, aku mendengar, lentera itu sengaja dipasang agar jalan kompleks perumahan itu yang tidak terlalu lebar, tidak gelap dan dimakan malam. Lentera itu ada atas usulan seorang lelaki yang kerap pergi keluar rumah pada malam hari, dan selalu merasa ada mata yang mengintainya dalam gelap yang membutakannya. Warga di sana pun setuju, pada dasarnya, orang memang selalu takut pada gelap yang terlalu hitam dan menutupi pandangan. Padahal, ada alasan lain mengapa jalan itu sebelumnya tak pernah dipasang lentera. Aku tahu, dan mungkin lelaki pengusul itu pun tahu. Maka itu, ia mengusulkan lentera – berharap ada yang pergi dari kegelapan. Aku tergelak, sesungguhnya kegelapan tak pernah pergi dari mereka yang memelihara gelap lain dari dalam dirinya. Terlebih mulut terkunci untuk melindungi gelap lain dipunyainya.
Seperti yang kubilang tadi, ada alasan lain mengapa halaman belakang rumahku pun tidak pernah dipasang lampu neon sebagai penerang. Tetap dibiarkan gelap. Sama seperti jalan itu. Menancapkan tiang lampu dan menggantungkan lentera oranye di sana sama saja menampakkan sosok pemilik sepasang mata pengintai gelap itu. Jika biasanya dalam gelap ia hanya mengekori langkahmu dan menjilati bayanganmu, ketika ia sudah terlihat, bukan tak mungkin kamu akan menjerit ketakutan, berlari cepat-cepat ke tempat yang lebih ramai dan terang – yang itu berarti ujung kompleks perumahan, tempat lalu lalang kendaraan melaju kencang, tak peduli siapa yang lewat tiba-tiba, langsung diterabas. Ketika sudah terlihat, bukan tak mungkin ia akan nampak lebih jelas, matanya berdarah dan berbau busuk, kamu pun mematung dan pingsan karenanya. Saat kamu tak sadarkan diri itu, diam-diam ia mengajak sukmamu untuk ikut menunggu di sana – di jalan remang di balik halaman belakang rumahku, yang tiap malamnya kucium bau melati dan sayup isak duka, karena pernah ditemukan mayat perempuan sebaya denganku yang membusuk di kali sempitnya. Mayat yang matanya terbelalak lebar, seakan mengatakan pada siapapun yang menemukannya; ia belum siap mati, ia masih ingin hidup dan terjaga. Sebab, ada gelap lain yang harus dipasangi lentera.
This entry was posted in