Monday, 21 January 2013

Tea in the Rain



“Untaian kata memiliki kekuatan. Kata mampu meruntuhkan senja, menggenggam hujan dan meretakkan malam. Tapi, tak pernah kuat hanya untuk sebatas menahanmu tetap di sini.” – di saat aku tengah merangkai aksara dan menghimpun paragraf

Biar rinai hujan menyampaikan sajak rinduku padamu. Maka itu, aku selalu membiarkan hujan turun. Karena mungkin saja, saat itu kamu tengah berdiri atau berada di balik jendela entah dimana, menegadahkan tanganmu menyentuh hujan, lalu kamu merasakan rintik hujan itu menyairkan bagaimana aku menyimpan rindu yang tersakiti di dalamnya.
Tirai gerimis jatuh di luar sana. Aku terbunuh setiap rintik gerimis itu jatuh. Mengetahui jika bulir air gerimis itu akan terlupakan. Hujan deras jatuh tak kunjung berhenti, air mata turun tak menuju reda. Aku terdiam di balik layar ponsel, mengetahui jika aku mengatakan ingin selalu menjadi hujan, berarti aku seharusnya siap untuk terlupakan. Sebab setiap hujan yang pernah datang pun terlupakan. Ponselku seolah berkata padaku, dalam waktu satu atau dua tahun lagi, kamu akan pergi, ke sebuah tempat yang jauh. Dan, tak ada yang lebih menyakitkan dari apapun dari kebersamaan bisu ini kecuali mengetahui kamu mencipta jarak begitu jauh dan tak kan pernah benar-benar melihatku sebagai seseorang yang membutuhkan secangkir teh hangat untuk menyejukkan hujan yang dingin. Aku pun akan segera terlupakan dalam detik waktu yang kuhitung dari hasil mengeja hujan.
Hujan. Ia mungkin saja terlupakan. Tapi, percayalah, setiap kali ia memiliki kesempatan untuk datang, ia selalu mengembalikan kenangan-kenangan semu tentang kita berdua yang tak pernah tersampaikan olehku. Hujan akan selalu ada, dimana pun kamu pergi, untuk mengingatkan kepingan kecil tentangku padamu. Tentang seorang gadis kecil yang selalu menulis sajak hujan untuk si pecinta teh.

Sunday, 20 January 2013

Moves Like Salmon



"Perpindahan adalah sebuah ketidakpastian yang pasti."

Minggu lalu, aku menghabiskan sebuah buku dengan judul Manusia Setengah Salmon dari penulis humor Raditya Dika. Awalnya aku mengira buku ini hanya akan mengisahkan bab-bab kisah lucu, namun, di bab terakhir buku ini, aku belajar banyak hal dari kaca mata sederhana. Bab terakhir buku itu berjudul Manusia Setengah Salmon. Diceritakan bahwa suatu waktu, Radith menonton National Geography dimana tengah membahas tentang migrasi ikan Salmon. Dalam waktu tertentu, ikan salmon akan berpindah tempat, menyebrangi perairan dengan jarak lumayan jauh dan arus berat. Banyak salmon yang mati ketika perpindahan itu terjadi. Tapi, mereka tetap berenang untuk berpindah. Untuk mendapat makanan, untuk kelangsungan hidup dan habitat mereka. Apa pun arus rintangan yang ada, salmon tetap pindah.
Saat membaca bab itu, aku teringat akan sebuah lagu yang liriknya bercerita bahwa kita tak bisa hidup dalam sebuah kotak. Hidup kita tak hanya diukur dalam satuan meter persegi. Kita akan menjadi ‘diri kita’ ketika kita keluar dari kotak, keluar dari garis yang membatasi kita. Kita akan melihat apa yang tidak kita lihat dalam diri kita. Mungkin ini yang dinamakan konsep think out of the box. Yang mengajak pikiran kita untuk pindah dari ruang yang mengukung kita. Ini perpindahan menuju kebebasan. Ekspresif. Tapi, di mataku, kedua hal mengenai salmon dan lagu tersebut adalah lebih dari itu. Ini tentang bagaimana kita menikmati perpindahan yang terjadi bukan sebagai keharusan, tapi perpindahan yang membuat kita sekarang ini hidup dan menemukan keindahan-keindahan sederhana penuh makna. Ini esensi dari perpindahan itu.
Sesungguhnya, aspek terkecil hingga terberat pun mengalami perpindahan. Dalam bukunya, Radith menulis, makanan yang kita telan pun berpindah oleh gerak peristaltik, dari kerongkongan hingga mencapai lambung. Tiap pagi, kita berpindah, dari kamar menuju ruang makan, sekolah, tempat les atau ke mana pun. Hati kita pun mampu berpindah. Rasa dan logika berpindah setiap detik waktu yang berpindah jua, yang kata banyak orang disebut move on. Kita tak mungkin hidup tanpa adanya perpindahan. Mungkin perpindahan adalah suatu hal yang menyakitkan, karena ia menjadikan jejak-jejak yang kita buat sebagai berkas kenangan. Tapi, ketahuilah, salmon terus berpindah walau itu mampu membuat mereka mati, mereka berpindah untuk meraih. Jadi, bisa kita sadari, tak akan ada yang kita raih jika kita tidak melangkah pindah. Pindah mengajarkan kita untuk berani, mengenali apa itu resiko dan kemampuan bertahan.
Kamu akan tahu, keindahan tak perlu kamu cari, ia selalu tersimpan rapi dalam perpindahan. Kita berpindah bersamaan dengan pindahnya waktu. Dan, jika kamu menikmati proses perpindahan itu, percayalah kamu akan menemukan keindahan kecil di balik perpindahan itu. Perpindahan adalah sebuah keindahan, karena keindahan ditemukan saat kita berpindah.
Move is the only way to survive. You just need to enjoy it. It’s feel like shooting star. So, enjoy your moves.
This entry was posted in

Wednesday, 26 December 2012

Last Fall : Goresan Hujan



Some feel the rain, some others just got wet . -Bob Marley-
“Gemuruh guntur adalah suara gundah hati yang menanti tanpa ada yang pasti. Langit mendung kelabu adalah kegalauan hati. Terkadang, langit mendung bergetar menahan tangis, berusaha membendung air agar tetap terpatri. Maka, sering kali kita ketahui, mendung adalah luka hati yang sunyi. Kilat-kilat petir menjadi bukti bahwa langit mendung yang terlalu lama terperangkap dalam sepi, telah memanggil rintik-rintik untuk segera membentuk tirai air dan pasukan air yang memukul-mukul Bumi. Hujan pun memain-mainkan hati tanpa henti, ia memasukkan badai angin, menyentuh kenangan nurani dan kerap kali membiaskan mimpi-mimpi. Ini semua hanyalah tentang kamu dan aku yang tak lagi merangkai pelangi.”

Now, it’s raining more than ever, you can stand under my umbrella. -Rihanna-
“Bulir air hujan ialah satuan waktu semu yang kutunggu dengan pengharapan palsu. Desir angin dingin milik hujan ialah berkas-berkas pelukanmu yang semakin membekukan hati yang biru. Bulir-bulir air hujan itu kadang kala menipu, menawarkan sejuk yang sesungguhnya menusuk dalam kalbu. Sebab, tak ada lagi rindu yang membuatku mengharu.  Karena kamu semakin jauh berlalu. Yang tertinggal hanyalah aku yang dengan lugu masih terpaku, menunggumu dalam kelu, walau aku tahu, sesungguhnya tak ada lagi apa pun kecuali langit abu-abu.”

Its gonna rain for years and years. -Secondhand Serenade-                           
“Gerimis adalah dialog antara hujan dan Bumi, tentang apakah rintik hujan akan terus jatuh ataukah tiada. Ini seperti dialog antara kamu dan aku, tentang apakah kita akan saling menyelipkan cinta, ataukah mengatakan bahwa kebersamaan memang bukan milik kita. Sisa air hujan di dedaunan seolah menertawakan kita berdua, karena tak ada lagi guna untuk saling bersua dan membentuk asa. Sebab, sisa air hujan yang goyah itu ada karena ditinggalkan oleh hujan yang lenyap, sama seperti kita, yang ditinggalkan cinta. Hanya membekas luka. Hujan hanya sementara, namun, sesungguhnya ia selalu ada. Kamu dan hujan itu sama, hanyalah kunjungan singkat tanpa cinta yang benar-benar singgah dan nyata. Aku lelah berkata-kata, kini, biarlah sajak-sajak hujan itu yang bercerita.”
  
Untuk siapapun yang menunggu seseorang saat hujan reda.
Dan, untuk kamu pecinta teh, maafkan aku karena telah mencintaimu .

Sunday, 23 December 2012

Fall...(15) : The Story Of Us



I used to think one day we’d tell the story of us. How we met and the sparks flew instantly…  
Suatu waktu, aku menemukan lagu yang melantunkan kisah kita. Cerita tentang kita. Tentang bagaimana aku berpikir untuk menuliskan rasa yang pernah ada, yang kemudian harus lenyap sebelum sempat aku mengatakan rasa itu cinta. Maka, episode Fall ini tercipta. ‘Tuk kubiarkan ia bercerita tentang kita.
I used to know my spot was next to you, now I’m searching the room for an empty seat…
Maka, kisah ini dimulai. Saat aku berjalan memasuki ruang kelas, aku mencari bangku kosong. Mungkin banyak bangku kosong yang menungguku untuk duduk, namun, aku tidak mencari bangku kosong semacam itu. Yang kucari adalah bangku kosong di sampingmu.
So many things that I wish you knew, so many walls up, I can’t break through…
Lalu, kita duduk di sebuah pertemuan penting. Kita duduk berhadapan. Dengan mudah aku bisa menikmati senyum bisu dan mata teduhmu, tapi, jarak singkat di antara kita seolah membentuk tembok besar yang sulit untuk kurangkak naik dan hancurkan karena banyak hal yang aku ingin kamu tahu, tentang aku yang bergetar ketika membisikkan namamu, tentang aku yang berpacu ketika menemukanmu, tentang banyak rasa yang bermain ketika melihatmu…namun kamu tak pernah tahu.
Now I’m standing alone in a crowded room and we’re not speaking…and I’m dying to know, is it killing you? Like it’s killing me.
Aku berdiri sendiri di sebuah ruang kelas ramai, dimana kamu ada di dalamnya dan hanya mencipta bisu untuk melawan keramaian, sedangkan aku terpaku, tersiksa lalu terbunuh oleh satu pertanyaan, mengapa kita tidak saling bertukar kata? Aku tidak pernah melihat diam yang sesempurna ini. I’ve never heard silence quite this loud.
See me nervously pulling at my clothes and trying to look busy, and you’re doing your best to avoid me…
Kamu pernah melihatku sibuk? Atau aku terlihat selalu sibuk di matamu? Karena aku tidak bisa hanya diam menemukanmu satu ruangan denganku dan kamu dengan sempurna menjadi patung manekin ketika sudut matamu mendapatiku.
I’m scared to see the ending. Why are we pretending this is nothing? I’d tell you I miss you, but, I don’t know how…
Ini cerita tentang kita dan aku takut menemui akhir cerita ini, yang akan menyapaku dan berkata bahwa kebersamaan bukan milik kita. Ingin sekali aku menyentakmu, mengapa kamu bisa berlaku seolah-olah semuanya tak ada apa-apa sedangkan kamu tahu aku tersiksa memikirkan cara bagaimana untuk mengatakan bahwa aku merindukan mata teduhmu setiap malam.
This is looking like a contest of who can act like they careless. The battle’s in your hands now, but I would lay my armor down if you’d say you’d rather love than fight.
Kita benar-benar seperti tengah berlomba siapakah yang mampu menahan rasa ini lebih lama. Tahukah kamu, menahannya hanya membuatku tertekan hingga merasa sesak? Pada akhirnya, pilihan untuk memilih ada padamu karena kapanpun aku akan lebih memilih cinta dibanding perang konyol ini. Namun, kamu memenangkan kontes. Tetap mempertahankan rasa bisu ini. Menahannya hingga aku hanya bisa membisikkan kata cinta saat jarak membuatmu tak mendengarnya.
And, the story of us looks a lot like tragedy now. The end.

Sebuah lagu milik Taylor Swift, The Story Of Us, yang menceritakan juga tentang kisah kita…

Wednesday, 5 December 2012

Fall…(14) : Dialog Gerimis



“Cause, I love you, wether its wrong or right.” –Bedingfield, Daniel-
Aku duduk di ruang tengah dengan lantunan lagu dari radio malam yang masih menyala. Kulempar pandangan ke luar kaca jendela yang tak tertutupi gorden, ada gerimis di luar sana. Aku menutup buku bacaanku dengan sekali katupan dan beranjak ke luar sana. Aku akan berdialog dengan gerimis, sekali lagi tentangmu. Sebelum aku mengakhiri tulisan tentangmu di tulisan Last Fall. Selalu tentangmu, bukan tentang kita, karena ketahulah, kebersamaan dan cinta itu bukan milik kita berdua.
“Can we talk forever and have a thousand cup of tea?” –Chance, Greyson-
Pada gerimis, aku bercerita, aku ingin kamu tahu, sesugguhnya, aku sudah menyukai teh jauh sebelum aku mendapati diriku mencintaimu dan mengetahui kamu adalah pecinta teh. Aku menghabiskan tiga cangkir teh dalam sehari, teh hijau pahit hingga teh manis. Lalu, aku pun bertanya, apakah kamu teringat padaku saat hujan itu datang menyapa kaca jendela kamarmu seperti halnya aku mengingatmu setiap kali aku menemukan sceangkir teh hangat terletak di meja komputerku? Suara gerimis dengan rintik yang jatuh perlahan pada wajah Bumi menjawabnya dengan bisu.
“I don’t want to run away, but I can’t take it, I don’t understand.”
Sepotong kalimat dalam lagu If you’re not the one benar-benar meneriakkan apa yang selama ini menjadi dilemma. Sesungguhnya, aku tengah marah ketika menuliskan ini, mungkin pada diriku juga padamu. Pada diriku, seperti saat berdiri berhadapan denganmu, mendapatkan kedua manik mata yang aku tak mengerti mengapa begitu teduh itu, aku tahu aku tak bisa pergi darinya tapi aku juga tahu, aku tak mungkin bisa memilikinya. Padamu, seperti saat aku tahu kamu menjauhiku, aku ingin sekali berbisik padamu pelan, jangan menjauh, jika kamu ingin ada jarak yang jauh di antara kita, aku bisa menciptakannya, aku saja yang menciptakan jarak jauh itu, aku saja yang menjauh, jangan kamu, karena melihatmu menjauh adalah hal yang paling  menyiksa. Ini mengoyak.
“If I don’t need you, then why am I crying on my bed?”
Mungkin itu pertanyaan yang tepat. Ini entah malam ke berapa kuucapkan, aku tak membutuhkanmu, tapi berkali-kali aku selalu menemukan alasan untuk kembali membisikkan kata sederhana; aku mencintaimu.