Sunday, 25 November 2012

The Lake of Sufi; Happines Formula



Sejatinya, tak ada rumus untuk mencapai kebahagiaan. Tapi, sesungguhnya, ada jalan untuk berdiri di titik kebahagiaan itu, kita hanya tidak menyadarinya, kita tengah berdiri di lingkaran menuju titik itu dan sebuah buku dari Tere Liye berjudul Ayahku (bukan) Pembohong, sekali lagi, mengantarkan kita melewati lorong dan membuka pintu pada kebahagiaan yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Dan, inilah salah satu dongeng Ayah kepada anaknya, anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng, tentang sesungguhnya, kita bisa menciptakan rumus kebahagiaan itu sendiri, itu sederhana.
Danau Para Sufi. Dari semua dongeng yang diselipkan dalam buku Tere Liye yang satu ini, ini adalah dongeng terakhir yang diceritakan Ayah kepada Dam, anaknya, tentang Dam yang bersikeras mengatakan bahwa selama Ibunya hidup, Ibunya tidaklah bahagia karena tak pernah memakai perhiasan dan baju bagus serta rela meninggalkan popularitas sebagai artis. Dan, dongeng ini sukses mengguggah Dam maupun aku sebagai pembaca. Dongeng ini menceritakan tentang Ayah Dam yang berkelana untuk mencari bagaimana seseorang bisa hidup bahagia selamanya, ini pertanyaan klise, tapi sesungguhnya, kita tak pernah tahu jawaban pasti dan hakekat kebenarannya. Ayah Dam berpetualang hingga bertemu para sufi, para sufi hanya menggeleng tidak tahu, pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab, para sufi pun menyarankan Ayah Dam untuk bertemu tetua sufi. Tetua sufi pun berkata, ia tidak dapat menjawab pertanyaan sulit tsb, namun, ia meminta Ayah Dam untuk mencari jawaban tsb dengan membuat sebuah danau besar, danau tsb tidaklah boleh kotor oleh lumpur tanah yang mengalir dari samping maupun dasar. Tetua Sufi tsb akan datang setahun kemudian untuk melihat danau tsb. Ayah Dam pun menyanggupi, di tahun pertama, danau tsb belum selesai. Tahun kedua, air tsb belumlah penuh. Tahun ketiga, air di danau tsb kotor karena pengairan samping yang membawa sisa-sisa lumpur. Tahun keempat, Tetua Sufi mengacak-acak dasar danau dan membuat air danau kotor. Tahun kelima, Tetua Sufi datang kembali, ia tersenyum pada Ayah Dam. 
Lalu bertanya pada Ayah Dam; “Apakah kamu masih memerlukan jawaban atas pertanyaanmu lima tahun lalu?” Ayah Dam menggeleng. Dilihatnya danau yang telah selesai ia kerjakan dengan susah payah, kini danau tsb walau terkena aliran lumpur akan kembali bening dengan sendirinya karena Ayah Dam sudah mengeruk tanah hingga mencapai dasar mata air, sehingga air danau berasal langsung dari kebersihan mata air, tak ada lagi dasar yang kotor. Dan, Ayah Dam mengangguk mengerti dan menemukan jawaban itu saat pengerjaannya di tahun kelima yakni kebahagiaan itu datang dari dalam, diri sendiri. Tidak datang dari luar. Jika datang dari luar, apabila yang dari luar itu hancur, maka kebahagiaan itu akan hancur bersamanya. Sering kali kita mengira, uang, harta, ketenaran dll akan membahagiakan kita, sesungguhnya tidak, kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Karena, uang bisa habis, kebahagiaan pun habis bersamanya, sedangkan kebahagiaan yang kita bangun sendiri, akan abadi menghadapi celaan dari luar seperti halnya air danau yang muncul sendiri dari mata air, segera menyapu bersih kotornya lumpur yang masuk. Sesederhana itu sebuah rumus kebahagiaan. Telah kamu temukankah itu?
This entry was posted in

Tuesday, 20 November 2012

Fall...(10)


Maybe, we just met once, but, please pretend this is love .

Berkas mentari baru saja menyapa kaca jendela kamarku yang berembun. Aku terbangun dengan sejuta mimpi tentangmu yang masih membekas di benak. Aku membuka jejaring mobile apps di ponselku, aku tersenyum, kamu memasukkanku dalam salah satu diskusi. Awalnya, aku tidak peduli dengan mobile apps itu, tapi, ketika aku tahu kamu ada, setiap hari aku mengaktifkan mobile networtku, menunggumu menuliskan pesan dan handphoneku yang bergetar memberitahuku. Mungkin bodoh, karena kamu tak pernah memanggilku sampai grup diskusi itu akhirnya mati, kamu keluar, semua anggota keluar dan, aku yang terakhir. Karena masih mencari jejak-jejak goresanmu di layar ponselku.
Cinta kita hanya sebatas lirikan mata di tengah keramaian, senyuman bisu dan sapaan nama tak berarti. Bahkan aku harus menyembunyikan itu semua dengan melakukannya dari jauh dan tentu saja, diam-diam. Ini ironi terdalam. Aku tak tahu, berkali-kali aku mendapati mata kita saling menyapa, dan tatapan teduh itu lagi yang kutemukan. Apa ada cinta di sana? Pertanyaan itu ditelan oleh keramaian dan lenyap di udara yang berjarak dan terbentang begitu luas di antara kita. Berkali-kali juga aku harus segera memalingkan mataku sebelum keberanian menatapmu berubah menjadi cinta yang semakin tak bisa kulukis.
Ini benar-benar menyakitkan. Aku baru tahu, waktu untuk seseorang yang jatuh cinta begitu menjerat, menukik lalu mencekik. Sama ketika waktu akhirnya membuatku mengetahui ternyata ada banyak hati lain tempat kamu terpaut olehnya. Aku segera berdiri di depan cermin lalu bertanya, apakah aku pantas bersanding denganmu? Sedangkan tiga hati lain yang sempat kamu tunggui hatinya, begitu sempurna dan memikat. Aku tersenyum hambar, wajahku pias, kerongkonganku tercekat, aku tidak bisa sesempurna itu untukmu. Tapi, bukankah cinta itu ketika kamu dengan sempurna bisa melihat ketidaksempurnaan seseorang sebagai suatu hal yang sempurna?
Aku tidak pernah memaksamu memilihku. Aku hanya ingin sekali sebelum aku mengucapkan selamat tinggal, duduk denganmu di suatu sore di balik jendela yang memantulkan cahaya senja yang berbaur dengan awan mendung sehabis hujan, dan kita bersama meminum teh hangat kesukaanmu. Itu kebersamaan bisu yang sempurna.
Dan, bersama tulisan ini, kuselipkan cinta di dalamnya…

Saturday, 10 November 2012

Fall...(9)



“And, what do you do when the one, who means the most to you, is the one who didn’t show?” –Swift, Taylor-
Aku sudah banyak melukismu dengan kata-kata. Menyembunyikanmu dalam cerita-ceritaku. Mungkin, suatu waktu nanti, kata-kata pun akan habis untuk melukismu. Tapi, saat itu terjadi, yakinlah padaku, bahwa ruang di hati ini tak akan pernah habis untuk terus merasakanmu.
Hei, kamu tahu, di suatu siang, saat tugas pertama kita selesaikan, kamu memanggil kecil namaku, meminta ingin melihat hasil tulisanku. Saat itu, ada yang berbinar di hatiku. Satu, aku tahu kamu mencintai duniaku, dunia khayalanku, dunia penuh dengan kata. Dua, kamu ingin membaca hasil tulisanku. Tapi, senyum itu tak pernah bias kutahan lebih lama, karena aku sadar, kamu pasti mengira aku tak pernah menulis cerita untukmu, kata-kata special bagimu bahkan ada irisan hati saat mengingat aku memberi secarik kertas berisi puisi indah bagi sahabatmu, mungkin di depanmu? Padahal, aku ingin berteriak padamu, kamu adalah satu-satunya orang yang mampu membuatku menuliskan banyak cerita tentang seseorang dan sesungguhnya ini semua untukmu. Jadi, jika kamu bertanya padaku suatu hari nanti, sudah berapa banyak orang yang sudah kuberi tulisan khususku, aku akan menjawab, itu kamu. Walau mungkin kamu akan heran, karena kamu tak pernah menerima goresan kata di atas kertas secara langsung satu pun dariku.
Lalu, saat aku memiliki kesempatan untuk mengeluarkan opiniku, dengan tidak mau kalah, kamu pun ikut berdiri hendak menangkis dan menahan opiniku. Aku tersenyum padamu sebelum kamu berdiri dan melawan opiniku, bukan karena banyak hal, hanya satu, aku ingin mendengar suaramu. Sesederhana itu.
Di perjalanan pulang, kamu duduk di belakangku, membuatku sulit untuk menemukan sosokmu, dan tahu kamu, apa yang kulakukan? Aku harus tersiksa dengan menemukan sejuta alasan untuk terus menengok ke belakang. Mengapa ini semua terlihat semakin rumit? Cukup duduk di bangku yang sama di sampingku dan tulisan-tulisan ini selanjutnya akan menjadi tulisan terindah yang pernah kurangkai.
Selalu terlalu banyak cerita tentangmu. Tapi, apakah selalu ada cerita, mungkin sedikit saja, tentangku darimu?

Fall...(8)



Kamu tahu, aku tak pernah ingin kamu menyebut kata cinta, menyeka air mataku atau memberi bahumu untukku. Aku hanya ingin kamu berdiri tak jauh dariku, tak perlu di sampingku. Cukup di sana, benar, di tempat dimana kamu bisa melihatku dengan mudah, bukan dekat, karena aku ingin pastikan, walau dalam jauh pun, dalam keramaian, kamu bisa menemukanku.

Ini satu ruangan, yang dipenuhi riuh, yang didesaki sahutan dan di sinilah, bahkan bukan dalam keadaan tenang yang diselimuti kesunyian yang begitu melankolis, aku mengamatimu lebih mendalam, tentang ekspresimu, tentang bagaimana aku melihat percikan darah seni gerakmu dengan mataku sendiri. Ketika itu, aku tahu, jarak tak hanya menciptakan bentangan jauh, dunia pun seolah ikut dengannya. Mari biarkan aku melukismu dengan dunia seni gerakmu. Gerakan kakimu yang maju dan mundur, perpindahan kaki dan olah gerak tangan serta kaki yang begitu terarah, kamu memiliki bahasa gerak tubuh yang begitu baik. Aku tahu, bakat seni gerakmu tengah mengaliri darahmu, sama saat aku berada di balik komputer dan membiarkan jari-jariku menari, seharusnya aku bahagia, karena aku tahu, kamu sedang mempertunjukkan apa yang kamu miliki, tapi tetap saja aku tak bisa tersenyum, karena itu semua bukan untukku.

Aku ingin sekali bertanya padamu, pernahkan kamu menciptakan seni gerakmu karena emosimu padaku? Sedangkan aku di sini, mengeluarkan segalanya mengenaimu dalam tumpahan kalimat. Menyembunyikanmu di sudut kata-kata. Menyamarkanmu dengan tinta.

Malam itu, aku tak pernah berhenti melihatmu dari sudut mataku, sampai saat suara permainan dimulai, saat dimana seharusnya kita semua memulai mencari kunci sesuati aturan main, tapi, pada awal-awal, aku tak bergerak, aku justru melirik padamu terlebih dahulu, melihat ekspresi antusiasmu. Aku runtuh. Kamu lewat di depanku, tanpa ada mata yang singgah padaku.

Dengar aku, di tengah malam itu, aku sudah benar-benar yakin, aku mencintaimu. Bahkan saat sentuhan tangan itu. Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tanganmu. Tapi, ada yang melintas di benakku, membuatku kembali terkoyak,

Apakah mencintaimu harus sesakit ini?

Fall...(7)



Tentang mentariku yang tengah tersenyum dan dikacaukan oleh seseorang yang mendesakku untuk mengikuti acaranya, aku sudah berkata tidak. Aku tidak ingin lagi terlibat dalam suatu kegiatan, sampai kudengar kamu ikut serta di dalamnya. Aku hanya terdiam, ini pertama kalinya aku melihatmu masuk dalam suatu kegiatan. Aku tahu, kamu sudah terjun dalam banyak komunitas yang kamu bangun dari nol dengan jatuh seratus kali, tapi, ketahuilah, komunitasmu tidak kuikuti. Sejak pertama, jalan kita sudah berbeda, kamu seni gerak dan aku seni tulis. Tapi, kali ini kamu berkata iya saat aku berkata tidak. Saat itulah, kutahan lengan seseorang itu, lalu kukatakan iya, aku akan kembali dalam kesibukkanku dengan acaranya. Ia pun mengangguk gembira, aku hanya bisa tersenyum pahit dan berbisik dalam sudut hatiku, ini untukmu, kamu.
Inilah aku, terpaku di balik jendela yang menempeli nama kita, aku tidak berada satu mobil denganmu, aku gelisah, aku menghabiskan semua yang tersisa untukmu. Lalu, aku hanya bisa tertunduk dan berkata, aku tahu, cinta selalu punya cara. Ia selalu pulang bagi siapapun yang mengenalinya dan memilikinya.
Waktu pun merangkak naik, lalu, kutemukan namaku sudah terganti bersamaan dengan mobilmu. Aku hanya tersenyum, begitu tipis, karena aku takut, siapapun itu di sampingku, di belakang atau di seberang sana melihatku tersenyum begitu manis dan lebar hanya saat manik mata ini tertuju pada namamu.
Ini ironi, kamu tahu? Tempat duduk kita bagai cakrawala langit yang terbentang luas dan jauh. Aku hanya bisa melihatmu dari jauh, ah, bukan, aku mencintaimu…selalu dari jauh. Diam-diam, aku meraih ponselku dari dalam tas, mengeluarkannya dan membuka note kecil di sana, menulis, cukup tahu aku satu tempat denganmu, walau itu jauh, cukup tahu kamu ada, aku tak lagi memperhatikan jarak yang tak pernah bisa kulipat ini.
Katakan padaku, mengapa kamu tak menengok sedikit saja ke belakang, melihat manik mata ini yang sedari tadi tak bisa kumalingkan darimu? Ini benar-benar menyiksa.