Sunday, 16 September 2012

Fall...(4)



Ini hanyalah sebuah episode dari cerita mengenai cinta yang jauh…
If this was a movie…
Kamu duduk di depan kelas, menunduk dan memakai baju seragam putih dengan jaket kasual. Aku tidak pernah melihatmu dengan pakaian seperti itu. Mungkin itu pakaian dance-mu? Aku mengamatimu dari jauh dengan jaket hijau lumut itu. Aku berharap bisa menyapamu dan berkata kamu begitu keren dan cocok dengan gaya kasual itu. Tapi, aku tahu itu tidak pernah menjadi suatu hal yang disebut mungkin, aku hanya bisa melihat manic hitam matamu, yang tidak memiliki tatapan begitu tajam, tapi bisa kurasakan hangat tiap manik mata cermin itu berbinar.
Again, if this was a movie…
Mungkin Tuhan selalu tahu, bagaimana aku menyapamu dengan menyebut namamu dengan begitu ceria lalu aku menyembunyikan rasa sakit yang terama sangat saat memanggil namamu tapi aku hanya sekedar mengenal namamu, tidak siapa dibalik nama itu.
Maybe, if this was a movie…
Di suatu siang itu, ingin sekali aku memiliki perbincangan yang banyak denganmu mengenai banyak hal. Berdebat denganmu. Berdiskusi denganmu. Biar hanya lima menit, yang terpeting adalah saat-saat ketika kamu melihatmu, memperhatikanku dan menyadari bahwa aku pernah ada dihadapanmu, menunggumu tanpa kamu tahu.
Okay, if this was a movie…
Di suatu sore, saat rintik hujan mulai berjatuhan, aku hanya bisa melihat komentarmu mengenai hujan lewat salah satu akun mayamu, aku tak pernah bertukar pesan denganmu lewat telepon genggam sekalipun, aku hanya bisa mendengar setiap kata bisu lewat akun itu. Kamu berkata, kamu mencintai hujan, tapi, saat itu, hujan tidak seharusnya datang, kamu merasa itu bukan waktu yang tepat.
Mungkin, jika ini adalah sebuah cerita dalam film, kamu akan datang, menerobos hujan, lalu kudapati dirimu berdiri dibalik jendela kamarku, basah kuyup, tak peduli hujan itu datang pada waktu yang tepat atau tidak dan saat itu kamu berkata bahwa kamu mencintaiku. Sederhana, tapi, sesungguhnya itu adalah hal yang tersulit yang pernah kubayangkan, karena aku tahu, kamu tak pernah sekalipun terpikir untuk itu.
“But, if this was a movie, you’ll be here right now.” –Swift, Taylor-

Thursday, 30 August 2012

Fall...(2)


“Stay with me , or watch me bleed.” -Vesely, John-
Aku duduk di balik jendela mobil dalam sebuah perjalanan yang merangkak hingga malam, memandangi lampu-lampu kota, sesekali mengobrol dengan teman seperjalananku dan tiba-tiba temanku itu mengucapkan namamu. Singkat. Aku beku sejenak. Lalu, ia mengulangnya lagi, aku hancur.
“I have to start this over.”
Hancur karena ingat bagaimana Tuhan melemparkan keputusan padaku untuk mengakhiri segalanya sebelum aku memulainya denganmu. Aku tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Terkadang, mengakhiri tidak harus memiliki caranya, ia berakhir begitu saja, kadang pun, tanpa alasan.
“The hardest way to loving you is when you be in love with someone else.”
Pagi ini, sehabis aku terbangun dari mimpi burukku, aku meraih telepon genggamku, mencari-cari namamu dalam akun kicauanmu, membaca setiap kata-kata yang kamu tuliskan. Kamu tetap saja sama, berkoar-koar hal yang sama yang dulu kuperjuangkan, tapi kini tidak. Lalu, aku menggeser layarku seklai lagi, ada satu kalimat, dimana kamu menyebut nama itu. Sebuah nama sederhana yang membuatku kembali terleleap dalam kegelapan dan mengingatkanku untuk mengakhiri segalanya sebelum aku terjatuh lebih dalam.
“Don’t have to fall in love, because, everything with ‘fall’ it will get hurt.”

Friday, 10 August 2012

Fall...


“Please, don’t be in love with someone else. Don’t have somebody waiting on you. Cause, this night is flawless, so, don’t let it go. I was enchanting to meet you.” -Swift, Taylor-
This is about another you. Ini tentang kamu yang lain. Ini baru permulaan, bahkan sesungguhnya, aku tidak pernah tahu kapan waktu memulai untuk merangkai awal. Aku hanya tahu, ketika kamu mulai beranjak dari sampingku dan dia ada berdiri di depanku, mataku terus menghitung setiap langkahmu meninggalkanku dan berharap kamu akan kembali duduk bersamaku. Dan dia hanyalah patung yang berbicara bagiku.
For the first time, we walk together in this silent road.
Suatu siang, mungkin hanya panas matahari yang kamu ingat, tapi, aku mengingat lebih dari itu. Aku mengingat obrolan singkat kita karena aku memaksa untuk membunuh sepi.
You’re the only reason why I was wishing on the wishing star…
Lalu, kita berhenti di suatu tempat yang memisahkan kita. Tidak jauh. Aku sibuk dengan lagu dan tugasku, kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Lalu, saat itu, saat banyak orang di antara kita, saat banyak kebisingan suara orang berbicara, teriakkan anak-anak, dan pengarahan, aku mencoba merasakanmu, memandang ke arahmu dan kudapatkan tatapan matamu ke arahku.
At that moment, I just knew, you just got me with those black eyes.
Di suatu siang lagi, aku berjalan-jalan di bawah terik matahari dengan lagu-lagu, aku mengingatmu dan menyadari banyak hal, salah satunya, aku tahu, kamu tidak akan pernah merasakanku, kamu tidak akan pernah mencintaiku, kamu tidak akan pernah tersenyum padaku karena aku. Ini mungkin hanya beberapa berkas tulisanku yang lain mengenai aku yang kembali mendapati diriku mencintai tanpa dicintai. Ini baru saja dimulai, tapi kembali harus segera diakhiri.
Hope this is our very first page, but, this is just another storyline end.

Sunday, 5 August 2012

The Last Still


I hope I can write another ending…but,
The last moment when I throw a silence promises for you to waiting, you just replied by those mysterious smile, trapped in your own silent and walked away behind me, leave me with a loneliness, then now, I got you staring at her with those deeply look eyes that you ever given to me for the first time we met.
Back to this September Rain…remember when I fake a smile in front of you, so you can’t see what I feel deep inside. When you back to me, try to haunt me in my dream, try to catch me back, try to touch this painfull heart again after everything mess between you and her. Who do you think you are?
I realized. I’m not a kind of girl who will be fool for love. I use heart to love you, but, I use mind to remember you. So, I won’t be blind. Remember all of your silence when I ask you to keep the love. Those silent means you won’t stand under the pouring rain to scream that love. You neglected me at that time, so far, I just knew.
I wipe my every single tears with my own hand. I’m lying in my own bed, never in your arms here for me. I hugs my own night bolster, not you. And, I cry every middle-night, I found that just another sad love song who accompany me to cheer me up, not your sounds. I found that just a little sparkling star and a warm moon who here beside me, not you. I never feel your linger here. Now, you just a stanger.
But, you’re not must be sorry or everything after this writing published. I thank you for ever love you, I will not be regret, because, maybe, that’s my favorite mistake.
I hope I can write another ending…but,
This ending, whatever the condition, nust become the ending. The tears ever drop must to be laughter…

Still…(14)


Ini episode tentang lagu dan kamu.
I will write a thousand songs to make you comprehend how beautiful you are…
Tik Tok. Jarum jam mulai bersuara, ia menyela di antara sunyi yang sedang berkuasa ketika detik-detik tengah merangkak menuju tengah malam, saat ketika malam menidurkan kita dengan mimpi manis untuk menutupi keganasannya. Ruang tamu yang mengukungku telah gelap, tak ada cahaya lampu yang menyilaukan lagi. Hanya ada pantulan cahaya dari luar, aku berjalan keluar dari kegelapan ruang ke arah pantulan cahaya malam. Lalu berhenti di sebuah jendela, teringat akan suaramu yang pernah berbisik sama dengan lirik lagu yang memiliki nada-nada malam itu…
My heart says louder than my head…
Kamu berbagi lantunan lagu dengannya dan tertawa bersamanya. Saat itu aku tahu, ada lagu lain yang menyeruak di antara lagu yang kuberi. Kamu menolak lagu-laguku. Kini, lagu lain itu masih bertengger di ingatanku, sesekali terdengar begitu menusuk mengingat kamu dengan lagu itu menjadikan kamu ialah hal yang semu untuk diraih.
Dear God, its my dilemma.
He’s so much faraway. I’m tired to missing someone. In this lonely road with a drop of rainfall, I just found that he accrosed this mind for a thousand times. And, I’m realized, I’m missing him to hold on. But, how I can answer if to make him stay is I must leave?
Aku berkata “Tinggalkan aku!”, sesungguhnya itu berarti, aku berharap kamu berlari mengejarku, menyambar lenganku dan menarikku ke dalam pelukanmu lalu berkata; I got nothing to leave each other.

Sunday, 15 July 2012

Still...(13)


This the way I want you to love me…
“Jangan cintai aku selamanya, karena bagaimana jika ‘selamanya’ ini berakhir detik ini? Maka, cintailah aku selama kamu yakin untuk itu, karena, yakin itu bukan berujung pada akhir, sebab ia bukan waktu.”
“Jangan mengingatku, tapi , rasakanlah aku. Karena, ingatan mungkin saja hilang, namun, rasa tidak, justru, ia menuntun ingatan untuk kembali mengingat.”
“Jangan mencintaiku seolah-olah kamu tak bisa hidup tanpaku, karena itu berarti, aku adalah malaikat mautmu. Tapi, cintailah aku sebagai tempatmu untuk kembali.”
“Aku tak memintamu untuk mengarungi samudra dan melewtai lautan luas, aku hanya memintamu mengerti kebisuanku.”
“Aku ingin jika kamu berkata kamu mencintaiku tanpa alasan, itu berarti karena kamu tak dapat melihat alasan itu, sebab cinta itu buta.”
“Aku ingin kamu bisa berbicara denganku lewat tatapan matamu, menciumku lewat senyumanmu dan menyentuhku lewat suara hatimu.”
“Cinta itu bukan kamu. Tapi, cinta itu adalah kamu dan aku.”
So, With what do you thinkin’ of me, by your heart or mind?
But, the ending is…we just pretending each other…

Still...(12)


I never think ‘bout you again, because, i always feel you now
Aku jadi teringat. Di suatu pagi aku terbangun dengan mata yang begitu berat, aku berjalan keluar kamar terhuyung menuju ruang tamu dan duduk. Mataku masih setengah terpejam ketika sebuah earphone tergeletak di meja begitu menggoda untuk mendengar lagu-lagu yang melewati kabel itu. Aku meraihnya dan memasangnya pada handphone yang setiap waktu berada digenggamanku. Lagu-lagu pun berputar. Terus berputar sampai kudengar lagumu menari-nari di telingaku. Dan segalanya bukan lagi gelap hasil pejaman mata. Aku tersentak. Pagi buta itu, aku dibutakan olehmu, lagi.
It was late in September, and I’ve seen you before. You were always the cold one, but I was never that sure. You were all bye yourself…
Inilah kamu. Kamu adalah kamu dalam lagu itu. Dimana segalanya bersamamu hanya berupa kenangan biru sejak September….Kita berdua berakhir dalam lukisan semu, lagu cinta kelabu dan kata-kata kaku.
Kebisuan bukan lagi meminta untuk saling megerti, melainkan meminta untuk saling menjauhi.
I’m just a girl who ask him to love her…
Selalu ada getaran dan sedikit rasa antusias yang membuncah ketika namamu tersebut, ketika namamu kubaca dan ketika kamu memanggilku dalam kekakuan ruang percakapan kecil di layar monitor. Di suatu malam dimana kekosongan yang mengisi jiwa karena adanya rindu yang tertinggal. Lalu, kamu datang, ya, sebah sapaan kecil yang menyalakan. Namun, lewat pertanyaan kecil setelahnya yang juga menyesaakkan, meredupkan, menggelapkan, menghancurkan.
You ever thought just maybe…you belong with me?
Ada yang sakit. Ketika kamu bertanya mengenai seseorang lain padahal ada seseorang di depanmu yang siap terluka untukmu. Aku rapuh. Lalu, aku retak. Ketika kamu bercerita dan kudapat, bahwa kamu memakai cara yang sama ketika kamu berkata kamu mencintaiku walau dalam bisikan angin yang hening yang terbungkus begitu erat dalam berkas cahaya rembulan di kala malam saat kita melihat langit senja gelap yang sama walau dengan jarak yang jauh dan jendela yang berbeda. Kusentuh pipiku, tak ada air mata yang jatuh untukmu. Kering. Mungkin, sudah habis bersama lagu-lagu itu. Mungkin, seharusnya cerita kita pun habis bersamanya. Karena, tak ada lagi sisa yang kutemukan. Mungkin, sudah lama, rasa itu kauhilangkan.

Monday, 2 July 2012

Still...(11)

We found love in the hopeless place.
Aku telah berada terlalu jauh. Mungkin tepatnya terperangkap dalam sisa jerat yang dibuatmu dalam diriku dan jaring-jaring yang tak kusangka kubentuk yang seharusnya berguna untuk balik memenjarakan jeratmu, justru berputar seperti bumerang, mengenaiku, menghantamku, menghancurkanku, kembali padamu.
Kuputar sebuah lagu, lagu yang tak pernah kuperhatikan liriknya ketika penyanyi melantunkannya. Lalu, entah mengapa, di suatu siang, ketika aku membaca salah satu kalimat di akun sosialmu, aku merasa aku mengenali kalimat itu. Aku pun tersadar, itu sebuah lirik lagu yang kerap kali terlintas melewati gendang telingaku tapi tak pernah berhenti untuk terserap oleh otakku yang terlalu penuh dan sesak akan tebaran namamu.
Ini terlalu berlebihan. Maka itu, aku sadar, aku terlempar begitu jauh. Ini liburanku, liburan keduaku yang anehnya, bahkan sebuah kata berharga ‘liburan’ ditengah waktuku yang begitu sibuk terasa tidak cukup menutupi dan mendorong namamu dan ingatanku akanmu. Ingatanku tidak pernah berlibur untuk mengingatmu. Berkali-kali aku berjanji untuk melepas diriku darimu atau melepasmu dariku hanya berupa gertakan yang menyulitkan tapi tidak menghentikan.
Be the one that i can waiting for...
Kini segalanya hanyalah pertanyaan yang menggantung di udara. Layaknya pertanyaan yang menggantung menanti jawaban, aku pun menggantung di suatu keadaan yang tak bisa kulukiskan dengan goresan penaku; menantimu, menunggumu...ketidakmungkinan yang kau tawarkan dalam tatapan mataku mungkin cukup keras menghantamku, tapi, tak cukup mengubah rasa yang pernah kamu tawarkan padaku, walau kini itu berupa kepingan, namun, ada kalanya genggaman tangan ini terus menjaganya...